Menurutmu hal seperti apa yang paling dibenci oleh seorang youtuber-tutorial-memasak sepertiku saat membuka email masuk? Ya, tebakanmu nyaris benar, aku memang agak terganggu dengan surel keluh kesah kaum perempuan manja yang ditinggalkan pasangannya, lantaran ia salah membedakan gula dan garam. Atau email protes dari koki sok yang melarang varian kue rasa jamur trufel.
![]() |
| Ilustrasi oleh Startup Stock Photos dari Pexels |
Walaupun aku terlanjur benci dengan semua sampah abstrak berserak dalam layar kotak itu, tapi ada dua surel anonim yang membuatku sangat penasaran. Dua email yang dikirim dalam waktu yang sama oleh dua orang asing yang berbeda pula. Berbeda, sebab kedua surel ini berisi kisah pribadi—amat bertolak belakang—penuh problema. Kurasa mereka ingin mengikuti kontes menulis pengalaman hidup dan entah kebetulan salah menekan email sasaran. Atau mereka sengaja mengirimkan curhatan ke emailku karena di medsosku, aku memang lumayan sering menulis pengalaman-pengalaman menyedihkan orang lain dan barangkali mereka jadi tergerak mengirimkan kisah mereka untuk dibagikan. Entahlah, mungkin saja.
Aku berulang kali mengurut keningku. Seandainya aku tidak membaca dua email yang masuk itu. Pastilah sekarang suara dentangan panci yang sengaja kupukul meramaikan dapur apartemen ini, barangkali juga Evelyn—si jurnalis musiman—pacarku itu tidak akan pulang cepat-cepat tadi.
"Ayo dong, Kev. Aku risih semobil dengan Josh."
"Hari ini aku malas banget nyetir. Ajak temenmu yang lain saja, bagaimana? Atau enggak usah ke sana saja deh sekalian?" ucapku lalu buru-buru menggulung tubuhku kembali dalam selimut.
"Enggak bisa, Kev. Peristiwa ini menarik buat diliput. Josh bilang pria pemabuk itu sengaja menabrakkan mobilnya ke perempuan yang berencana mau bunuh diri. Aneh, kan?"
"Ya, aneh. Dan anehnya lagi aku malas ke sana, sorry."
Bisa ditebak, Evelyn pun merajuk. Ia pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi padaku. Wanita itu tidak mengerti apa yang sedang kupikirkan. Semenjak membaca surel itu aku jadi kepikiran kalau-kalau peristiwa yang akan dia liput punya kaitan dengan surel itu, atau aku saja yang terbawa perasaan.
Berlarilah sejauh mungkin selagi dirimu mampu, namun jika kau lelah maka berdirilah dan putuskan sendiri. Begitu kata ayahku, suatu pagi saat mengantarkanku ke depan pintu pagar rumah, sebelum aku berangkat menuju kampus terbaik di Leeds. Dia baru saja memindahkan karung pupuk urea dari mobil pengantar. Kukira Dia tidak sungguh-sungguh mengatakan itu, pria tua pendiam yang menghabiskan waktu bicaranya dengan tanaman brokoli dan seledri. Aku lega hari itu saat meninggalkannya tanpa menyisakan lagi kecemasan. Penyakitnya jantungnya sudah mulai membaik.
“Aku M. Terima kasih atas tumpangannya.”
“Not at all. Oh ya namaku D,” balas lelaki ramah itu.
Percakapan singkat untuk kejadian singkat pula. Suatu malam di saat paling membahagiakan untuk remaja seusiaku, di Hari Valentine. Aku memilih singgah ke Leeds Market membeli makanan murah, sekedar untuk cemilan di Roundhay Park. Anggap saja pengganti hiburan nonton bioskop bersama kekasih.
Brukk! Semua barangku terjatuh. Bahkan belum juga aku menikmatinya di taman, pria keriting berwajah sumringah tertawa bahagia setelah menabrakku dengan sepedanya. Dasar! Ia pasti orang sinting yang tersesat di kota ini. Aku pun berjalan mencari taksi untuk segera pulang, kubatalkan niat awal setelah mendengar gemuruh gumpalan pekat di langit. Dan tanpa diduga seorang lelaki membuka kaca depan mobilnya, tatapan mata biru, suara yang berkharisma, wajahnya begitu teduh menghidupkan hasrat yang telah lama dimatikan. Tak ada satupun kalimat yang mampu kususun untuk menolak tawaran lelaki budiman itu, dan nantinya setelah kejadian singkat inilah aku harus menyesal berada di sana saat itu.
Bak dongeng Cinderela. Maka kebetulan pula lelaki bernama D itu adalah seorang dosen muda di kampusku. Tidak butuh waktu lama, kami pun semakin dekat. Sedekat antara otot dengan kulit, urat dengan daging, sedekat tanpa jarak. Tidak terhitung ini kali percintaan yang ke berapa, kami tak menyerupai pasangan mana pun, yang berbasa-basi dengan makan di kafe, memberi setangkai mawar, dan sebuah cincin emas permata disematkan indah di jari manis wanitanya. Aku terlambat untuk menyesalkan semua itu.
Suatu malam terasa dingin dan beku, dari balik jendela kaca apartemen, rembulan mengintip malu kepada dua insan yang berahinya memuncak dalam ritual kawin-mawin. Di tengah ritual, aku teekejut karena menyentuh sesuatu melingkar di jari manis pria itu, kesadaranku terguncang. Kulepaskan dekapan hangat tubuh lelaki yang tega berkhianat itu. Betapa bodohnya aku membiarkan kulitku tersingkap di hadapannya.
"Ayolah kamu pikir hubungan kita seperti apa hah? Kau butuh nilai kalkulus A atau uang? emas? Katakan,” ujar lelaki itu angkuh. Ia berusaha ingin merengkuh tubuhku.
“Aku tidak butuh semuanya. Kamu melampiaskan hasrat lalu berniat membuangku dan-” aku menitikkan air mata. Sesak sekali bagai dihimpit ribuan kubik kerikil. Bibirku hanya mampu bergetar sesaat. Lidahku kelu tak mampu lagi berkata apa pun. Ayah, andai ia disini. ia pasti memukul wajah lelaki jalang itu.
“Lupakan semua yang terjadi malam ini. Anggap aku sebagai dosenmu, begitu saja,” ucapnya terakhir kali, sebelum punggungnya benar-benar menghilang dari pintu kamar.
Siapa yang mau menikmati Stout Beer dengan cara menuang yang salah? Kalau aku jelas tidak mau. Melakukan hal itu sama saja merusak suasana hatiku buat berbahagia sehari penuh. Aku tidak terlalu peduli hal lain, kecuali satu hal, yakni minumanku. Mulai dari menuang sampai menyesapnya dalam kerongkongan harus tepat dan benar. Bagiku menikmati stout membangkitkan keberanian, seperti maknanya sendiri yang berarti berani. Maka jika prosesi menuju beraniku salah, artinya kekuatanku hilang selama sehari penuh.
Tidak sembarang bartender kuizinkan menuangkan cairan hitam kesayanganku ini, selain Pak G, lelaki tua yang telah banyak menuangkan ribuan minuman pembangkit semangat orang-orang Leeds sekaligus dia adalah mentorku dalam ritual minum-minum.
“Jangan menenggaknya seperti pemabuk bodoh di jalanan, C. Kau harus melihat bagaimana aku mengajarkannya padamu. “
"Minuman pahit ini tidak butuh aturan, ia bisa dinikmati sepuasnya,” balasku santai lalu kembali memasukkan mulut botol ke sela bibirku, menengadah, membiarkan cairan dalam botol melewati kerongkongan.
“Tapi kau pasti selalu tidak puas menikmatinya, bukan?” ia mengangkat alis, menunggu jawabanku.
“Angkat gelasmu perlahan, lihatlah gelembung dan busanya. “Aku mengikuti ucapannya, kuperhatikan busa-busa itu bertahan mengembang.
“Rasakan aromanya, biarkan indra penciumanmu merasakan ledakan aroma malt, ragi, bunga hops bercampur. Lalu kau sesap sedikit demi sedikit dan tetap hirup, jangan biarkan ia hanya melewati kerongkonganmu tanpa menyentuh langit-langit lidahmu,”
“Ini pahit tapi memuaskan. Kautahu rasanya aku seperti baru saja terlahir.”
Pak G tersenyum melihat gelagatku yang mirip orang bodoh. Ia lalu kembali mengelap gelas kaca terakhir, sebelum ia beranjak pulang meninggalkan pekerjaannya. Lima tahun semenjak aku datang ke sini, ia tidak pernah menolak untuk menuangkanku minum di jam seharusnya ia sudah pulang.
“C? Bisa kau biarkan aku menutup tempat ini sementara waktu?” suaranya membuyarkan lamunanku.
“Aku ingin bercerita padamu, boleh?”
“Asal kau tidak mengambil jatah istirahatku terlalu lama.”
“Apa? Kau bilang ada lelaki tua? Bagaimana bisa kalian salah antar!" Darahku seketika mendidih selesai mendengar kabar dari pekerja bodoh yang kugaji dengan harga tinggi itu. Sialan! Dia mengantarkan daganganku ke tempat yang salah.
“Hilangkan jejaknya dahulu, lalu kauambil kembali karung pupuk itu!" perintahku tegas penuh amarah.
"Jelas! Kau habisi saja dia." Kututup panggilan itu cepat-cepat.
Malam bersalju di Leeds aku terus mengayuh sepeda, meluapkan kekesalanku pada peristiwa yang baru saja terjadi. Kuinjak pedal sepedaku semakin cepat, hingga tanpa sadar saat aku melintas di sebuah toko, seorang wanita tolol entah kenapa berdiri melamun menghalangi jalan. Cih! Dasar menyedihkan sekali! Bak kerasukan maka kuluapkan kekesalanku dengan menubruknya. Wanita tolol itu sontak berang. Kutoleh ia sebentar dan kuacungkan jari tengahku sambil tertawa mengejek. Mampus! Siapa suruh mengganggu jalanku.
Esoknya, aku mendapat kabar kalau pekerjaku ditangkap oleh polisi lokal karena ketahuan membawa pulang daganganku. Kini, kudengar para interpol pun ikut menambahkanku dalam daftar buronan mereka. Kali ini aku yang mampus.
“Jaga dirimu baik-baik. Tapi kumohon kau jangan datang ke sini lagi,” ucap saudara perempuanku saat aku datang padanya untuk pamit.
Seminggu lagi ia akan bertunangan dengan rekan kerjanya di kampus. Aku sebenarnya ingin menyaksikan peristiwa penting itu. Tetapi aku sudah memutuskan untuk pindah ke Manchester.
"Bolehkah aku menginap di sini untuk terakhir kalinya?"
“Pergilah C! Aku tidak mau polisi datang ke sini. Kau bisa merusak pertunanganku nanti,” ujarnya tega mengusirku. Padahal, ini kali pertama aku datang menemuinya. Adik nakal, semenjak sudah sudah dewasa ia berani mengabaikanku. Lihat saja kalau aku sudah mati. Kau akan menangisiku sepanjang hidupmu.

Posting Komentar
Posting Komentar