I
Aku mengamati besi tua di hadapanku, setua diriku, kata istriku yang selalu menuntut ini itu. Berkat dia, kini, kami punya anak gadis yang tidak tahu berterima kasih. Dia yang membuatku sebal sepanjang hari.
Tiket ini kubeli dengan kerja susah payah, bahkan tak sedikit pun dihargai. Janganlah kau tuduh aku macam-macam. Aku
rela keringatan, dua hari dua malam juga puasa mengudut. Ah, andai kata duit itu
kupakai membeli sarung kelamin, lalu aku singgah ke warung dekat kebun sawit, menyewa
wanita bahenol yang wajahnya diamplas dengan bedak tiga inci, aku pasti tidak
berada di sini. Tidak mungkin aku merana macam monyet goblok.
"Istriku
bilang aku tua, tapi nyatanya aku pria bebas berjiwa muda. Sebab apa? Itu
karena aku menikmati hidupku, icip-icip daun-daun muda." Terkenang nasihat
yang pernah kusampaikan pada Bejo, kernet andalanku. Dia mesti banyak berguru
pada kisah-kisah petualanganku.
![]() |
| Ilustrasi by Pixabay. |
II
Aku tidak bisa tenang semenjak si Ompong Botak itu duduk di depanku. Tuhan kenapa engkau
semakin jenaka sekarang? Biasanya aku dikunjungi orang yang masih muda, masih
kuat, masih bahagia, kenapa yang datang malah manusia keriput yang cengar-cengir
tidak jelas ini?
Si tua
bangka itu menghalangi pemandangan sore yang lindap. Aku ingin melepas karat, aku ingin
mengenang tawa-tawa manja kala beberapa penumpang perempuan bergurau di hadapan
suaminya, aku ingin mengenang mana kala gadis-gadis tidur di bahu lelakinya,
bermimpi jadi sang putri, hidup bahagia sentosa, tanpa diselingkuhi. Aku
mencatat kenangan-kenangan manis mereka, termasuk kisah Tuan Belanda, si
pengkhianat! Cuih, barang rongsok sepertiku masih lebih untung daripada
pengkhianat yang gonta-ganti pasangan.
Ah, lupakan! baiknya mengaso barang sebentar.
III
Dasar suami
tidak tahu malu! Dipikirnya dengan membeli secarik kertas itu bisa membuat putri semata
wayang kami senang? Aku harap dia tak pulang lagi. Terserah mau ke mana, biar dia pergi ke Hongkong
sekalian, masa bodoh. Dia pikir aku tidak tahu kelakuannya di jalan selama ini? Bukannya
mondar-mandir ke masjid, bertobat, jadi panutan anak-anak, eh malah tua-tua
keladi, genit. Lihatlah, tiket itu saking tidak ikhlas, sekarang dimanfaatkannya
sendiri.
Celaka!
Apa dia hendak janjian dengan wanita semok di sana? Sudah kuduga, itu pasti akal-akalannya
datang ke museum supaya bisa bertemu wanita-wanita bodoh itu. Kalau tidak bodoh,
kenapa pula dia mau menemui si ompong gila?
IV
Abah sama sekali tidak mengerti. Maksud saya meminta tiket itu, supaya Abah mau pulang ke rumah, duduk di meja makan, mengobrol dengan Umi. Lagi pula, umurnya sudah setengah abad, harusnya bukan waktunya lagi kelayapan memakai alibi lembur kerja. Iya, betul, saya memang butuh tiket itu. Tapi dua hari yang lalu, pacar saya sudah berjanji membelikannya. Jadi sekarang saya lebih baik bersama dia, daripada jalan-jalan sendirian.
***
I
Jongkok
satu jam di sini rasanya tidak berguna. Dari jam setengah tiga tadi aku merenung,
belum kelihatan seorang pun mampir ke sebelah sini. Sungguh malang kau benda
kuno, dekil, dan jelek. Coba tengok, di antara koleksi antik dan lusuh pun kau masih paling
kalah bersaing. Yang pasti nasibku tidak mungkin macam kau. Hahaha, aku masih laku di
kalangan cewek-cewek belia.
Kurang
ajar, dari mana suara berderit-derit itu? besi jelek ini pasti sedang
meledekku.
II
Pucuk
dicinta ulam pun tiba. Biar aku muak menatap kakek sinting di depan sini,
tetapi di dalam tubuhku ada pemandangan lain yang sungguh menyegarkan mata. Amboi!
Dia remaja yang anggun, walaupun
pacarnya tidak bagus-bagus amat. Setidaknya aku bersyukur masih melihat
insan muda sedang berkasih-kasihan, terkenang olehku dahulu pernah mengangkut
gadis pemetik kebun kopi, yang diam-diam menaruh hati pada Tuan Belanda
bajingan.
III
Hampir saja aku
berteriak kaget gara-gara petugas jaga di sini menepuk bahuku dari belakang.
Pengintaianku nyaris ketahuan oleh botak tidak tahu diri itu. Aku tidak bisa
membayangkan seumpama dia melihatku mengintip dari balik dinding ini. Lelaki
itu tentu makin jumawa, seakan-akan diperebutkan, padahal aku hanya ingin tahu saja
secantik apa orang yang ditemuinya.
IV
Saya
sering merasa dicintai setiap kali bersama lelaki ini. Di rumah, hidup saya
tidak bahagia. Umi tak henti-hentinya mengomel, Abah pulang cuma seminggu tiga
kali, dan pada siapa lagi kalau bukan kepada orang ini saya berbagi keluh-kesah. Saya biarkan dia ingin melakukan apa saja ke tubuh saya walaupun kami mesti diam-diam di dalam gerbong ini, bersembunyi-sembunyi. Pacar saya tidak
berani menyewa hotel. Ia takut digrebek Pol PP. Di gudang bekas juga dia
tetap tak berani, takut ketahuan warga melintas, katanya. Alhasil, tempat inilah yang
kami pilih. Menikmati madu tanpa harus mencuri dari lebah.
***
Meskipun aku ini sudah tua, tapi kedua kupingku belum pekak apalagi tuli. Kurasa ada yang janggal di dalam gerbong tua ini. Telingaku menangkap bunyi derat, desah, dan astaga! Tidak salah lagi, benda ini tampak bergerak-gerak kecil. Hahaha, aku benar-benar masih muda buat menonton sirkus manusia.
II
Terpujilah kau, Dewa Amor. Panahnya melesat ke dada sepasang manusia yang dimabuk asmara. Mereka sedang bercinta di dalam tubuhku yang pengap ini. Sanggup pula mereka mengendus debu-debu lima dasawarsa. Terulang kembali
kenangan gadis pemetik kopi sebelum ia terjebak dunia pergundikan.
Lah, lah,
lah, kenapa botak ompong ini mau mendekat, ganggu orang saja!
III
Oh,
rupanya suamiku janjian di dalam kotak besi itu. Lihat, dia bahkan berani melewati garis pembatas. Ckckck, ternyata
perempuan bodoh yang dia nantikan bersembunyi di dalam sana. Siap-siap saja aku
akan melabrak mereka. Bakal kujambak rambut lelaki setan itu!
IV
Dia mulai merengkuh tubuh saya yang diam, saya pun menikmati sentuhan-sentuhannya.
Tiada henti-hentinya saya memuji surga yang diciptakan Tuhan.
Baru hari ini saya tersadar, jika surga bukan di telapak kaki Umi, seperti
orang-orang katakan, surga sebenarnya tersembunyi di tubuh laki-laki ini.
****
"Kurang
ajar kau, Bejo! Katamu mau mengantar istrimu, makanya kau izin hari ini.
Ternyata kau sedang merusak putriku!" Si Botak naik darah. Wajahnya
memerah bak tomat masak. Tinju kurus yang ia genggam dengan cepat melesat ke
batang hidung pria setengah telanjang itu.
Dritttttt, tubuhku bergoyang-goyang dinaiki tiga orang sekaligus. Tak lama
datang lagi satu orang. Dia mengenakan kacamata gelap, dan topi hitam, kemudian ia buru-buru memanjat tubuhku.
"
"Abah,
Umi." Gadis itu kemalu-maluan karena tertangkap basah. Ia lekas memasang bajunya.
"Maafkan Sumii....Ampun, " kata si
Gadis menangis-nangis sembari sujud di kaki orang tuanya.
"Saripah?
Kok kamu di sini?" tanya lelaki botak heran.
Dritttt,
riitttt... Sekarang ada empat orang di atas tubuhku. Tumpuanku sudah tidak kuat lagi
menahan mereka. Keempatnya masih sibuk bermain drama keluarga.
"Diam
kau Paijo! Ini gara-gara kau tidak bisa mendidik anak!"
Brak,
anjlok juga akhirnya keempat kakiku. Mereka terguling-guling di dalam sana. Hening,
tak ada suara lagi. Ah, terulang kembali drama enam puluh tahun sebelumnya.
Ditulis dalam rangka #NAD_30HariMenulis2020 di hari ke-17.

Posting Komentar
Posting Komentar