Laporkan Penyalahgunaan

Tags

Recent Posts

Recent Comments

Nature

Facebook

Popular Posts

Sepatu Merah Prita

Di kuburan mata para pelayat tertuju pada kaki seorang perempuan. Mereka berbisik-bisik mengejek sepatunya.

"Lihatlah, tidak tahu tempat," seloroh salah seorang pelayat di belakang si gadis sembari menyenggol bahu perempuan lain di sebelahnya.

"Memang kurang adab," timpal si pelayat yang berdiri di sebelahnya. "Aku tahu dulu ia kurang akur dengan almarhum bapaknya, tapi tidak sepantasnya begitu!"

"Allah maha melihat! Ia pasti akan menghukum wanita tidak punya akal itu."

"Hukuman paling berat."

"Sangat berat! Dia akan menari dengan sepatu merahnya sampai mati."

***

Prita adalah biduanita. Prita suka goyang dan bernyanyi dangdut. Bila ada hajatan di kampung, pria-pria memanggil-manggil nama Prita di bawah panggung. Kemudian janda itu menari. Pinggulnya berlenggak-lenggok lentur bagaikan pensil karet. Musik organ tunggal dimainkan. Goyang ke kanan, ke kiri, maju, mundur, naik, turun, sampai keringat bergulir-gulir di dahinya. Tapi ia tak berhenti mengulang-ulang gerakan lentur tubuh sintalnya. Mik digenggamnya di tangan kanan, uang saweran dikepal tangan kiri. Laki-laki bermata rubah berduyun-duyun antre naik ke panggung, saling dorong-mendorong, saling serobot, sikut-sikutan, berebut ingin ikut menari bersama Prita tanpa henti. Semakin Prita berkeringat, semakin mereka menggila kegirangan. Para istri di bawah panggung yang tak sanggup menahan benci kepada kegenitan suami mereka, lantas ikut-ikutan naik ke panggung. Mereka menjewer kuping suami mereka tanpa ampun dan merampas kembali lembaran uang di tangan Prita. 

***

"Yang benar saja! Kita mau ke rumah sakit bukan kondangan! Ganti sepatumu sekarang. Kau jangan mempermalukan Emak!" sergah seorang wanita paruh baya ketika melihat seorang gadis bersepatu merah dengan hak tinggi lancip muncul dari balik pintu. 

"Tapi aku suka sepatu ini! Ini bagus sekali," bantah si gadis. Ia berputar-putar bagaikan Upik Abu baru saja disulap penyihir kemudian memainkan kakinya seolah sedang menari salsa. 

"Astaga! Sudah gila kau ini! Kau akan disangka menghina mereka kalau begini," emaknya terus mencerocos. Ia kesal melihat sepatu semerah darah itu menopang tumit putrinya. 

"Pakai sepatu mana kalau begitu, Mak? Emak tahu aku tidak punya sepatu bagus. Emak tidak pernah membelikanku. Sepatu hitam pemberian Bibi Ratna yang kupakai kemarin juga sudah lepas telapaknya. Ini sepatu bekas aku ketemu di tempat sampah. Sayang kalau dibuang," Ia mengarang cerita, padahal sepatu itu ia curi dari teras mushola. Ia membuntuti perempuan cantik yang turun dari mobil mewah. Saat gadis itu masuk ke toilet, ia langsung mencolongnya cepat-cepat.

Emak gadis itu mendengus kesal. Ia tahu putrinya sangat batu. Jika dia menginginkan sesuatu, ia tak akan mau mengalah barang sedetik pun. Berdebat dengan putrinya itu hanya akan buang-buang waktu saja, sementara kunjungan besuk tak mungkin dibatalkan hanya karena perkara sepatu.

***

Sepulang dari pementasan Prita langsung menjatuhkan tubuhnya di kursi. Anak laki-lakinya, Jono, tiba-tiba datang memijit bahu ibunya yang baru pulang itu, seperti mengerti jika ibunya kelelahan. Seharian Prita memutar pinggul dan bernyanyi hingga serak di atas papan keras, berdiri dengan kaki terjinjit di atas sepatu merah dengan hak tinggi, dikepung aroma masam laki-laki jelalatan, didorong-dorong pula oleh istri dari para laki-laki jelalatan itu. 

"Sebelah sini, Jon," Prita menepuk-nepuk bahu kanannya. 

"Bu, tadi bu guru tanya soal SPP," ucap Jono setelah beberapa menit mengurut emaknya yang tidur-tidur ayam. Namun, Prita tidak lekas menjawab.

"Ibu kapan bisa bayar SPPku?" ujar Jono tak berhenti mendesak ibunya. Ia lelah ditagih terus-terusan di depan teman-temannya. Di kelas, cuma ia dan Beti yang belum membayar SPP. Tapi Beti sudah berjanji pada sekolah akan melunasi minggu depan. Sementara ia tak bisa menjanjikan apa-apa pada guru cerewetnya itu. Ibunya pun selalu diam bila sudah membahas SPP.  Apakah SPP adalah kata yang bisa mengutuk orang tua jadi bisu? 

Prita merogoh kutangnya dalam-dalam. Mengambil beberapa lembar uang kertas lusuh dan bau tengik dari keluk gaun merah tipisnya. "Tabung ini dulu. Besok kutambah lagi sampe dananya cukup."

"Tapi janji ya, Bu?"

"Memangnya kamu bisa sekolah selama ini dari siapa? Dari Ibu, kan? Pokoknya kalo kata Ibu tabung ya tabung saja. Sekolah yang benar. Soal duit biar Ibu yang mikir."

***

Si gadis meradang ketika melihat sepatu merahnya sudah sobek dan tergeletak di tong sampah. Tega sekali, rutuknya. Keranjang berisi sayur-mayur di tangannya ia lepaskan begitu saja. Ia baru saja pulang dari belanja ke pasar dan kaget melihat benda kesayangannya sudah dihancurkan. 

Mata gadis itu menampakkan kebencian teramat sangat. Ia selalu tahu siapa di balik semua ini. Kemarin make up-nya direndam dalam ember berisi air, kemarinnya lagi botol parfumnya ia dapati pecah berantakan di jalan menuju rumahnya, minggu lalu celana-celana pendeknya tiba-tiba hilang dari jemuran. Tidak mungkin salah lagi, pikirnya. Aku tahu ulah siapa di balik semua ini?

"Benar-benar keterlaluan!" ia mengangkut kedua sepatu haknya ke dalam rumah. Setengah berlari, dengan napas ngos-ngosan, ia memburu masuk ke dalam kamar emaknya. Dilihatnya pria gemuk dengan peci hitam dan janggut putih sudah duduk di samping ranjang ibunya. Tanpa wajah berdosa, lelaki itu tersenyum menyeringai ke arah si gadis. 

"Apa maksudnya ini?" jerit si gadis sambil mengangkat sepasang sepatu merahnya yang sudah rusak. "Belum puas kau!"

Lelaki berpeci hitam itu berdiri dengan wajah mengintimidasi. "Anggap itu peringatan. Jangan lagi kau kenakan benda menjijikkan itu ke mana pun. Aku sudah cukup malu mendengar cemoohan orang tentang kau."

"Kau tidak berhak!" Si gadis meneriaki dengan tatapan nanar. "Kau tidak berhak mengatur apa yang harus kukenakan dan tidak kukenakan! Kau bukan ayahku!"

Pria itu menggeleng dan menatap wajah si gadis penuh prihatin. "Aku sangat berhak. Sekarang aku bapakmu. Jika kau masih ingin tinggal bersama kami, kau harus mendengarkanku."

"Dengarkan kata bapakmu, Nak," kata emak si gadis lemah sembari terbatuk. "Yang bapakmu bilang ada benarnya."

"Memang apa kesalahanku, Mak? Aku tidak melakukan hal jahat! Aku tidak merugikan siapa pun."

Lelaki itu memandang tajam. "Rupanya kau belum sadar juga. Kau gemar bersolek dan berjalan-jalan melenggak-lenggok di depan laki-laki dengan baju minim dan sepatu merahmu itu! Kau pikir tindakanmu itu tidak hina, kah? Kau sengaja ingin menggoda laki-laki di luar sana dengan pakaian dan riasanmu itu! Yang kau lakukan tidak lebih buruk daripada seorang pelacur!"

***

Sehabis mengomeli putranya, Prita masuk ke dalam kamarnya dengan langkah loyo. Sepatu merah berhak tinggi tak ketinggalan ia jinjing ke dalam kamar. Ditaruhnya benda kesayangannya itu ke atas lemari kayu cokelat berukir peninggalan mantan suaminya dulu. Lelaki itu sudah bahagia pergi ke antah-berantah bersama istri barunya, tetapi bekas-bekas kehidupannya masih menyisa di semua sudut rumah ini. Sebab itulah Prita benci tiap kali pulang ke rumah. Rumah tidak lebih daripada puing-puing rumah tangga yang terpaksa ia huni. Andaikan ia punya cukup dana untuk menyewa tempat, ia tidak akan bertahan di dusun ini. Di tempat kenangan pedih dan takdir buruk menyiksa lahir batin. 

Prita membuka jendela kamarnya. Rumpun pisang berdiri miring seolah saling menjauh satu sama lain. Angin malam meniup-niup helai daunnya lambat memberi kesan seram seakan-akan ada perempuan kesepian dan menderita menjentik-jentikan jarinya ke tiap tangkai pohon itu. Konon, perempuan yang mati melahirkan akan gentayangan dan menjadi penghuni rumah-rumah kosong, pohon-pohon beringin rimbun, atau rumpun-rumpun pisang dan bambu yang tumbuh tanpa ditanam. Seandainya aku benar-benar mati saat melahirkan Jono, mungkin aku akan menangis meraung-raung dan tertawa cekikikan sambil berpikir membalas dendam di sana, pikir Prita. Tapi aku masih hidup. Dan mungkin saja, di rumpun pisang ini ada arwah pedendam lain yang sudah lebih dulu tinggal. Barangkali ia seorang istri di kehidupan berpuluh-puluh tahun silam yang menunggu suami bajingannya kembali dan merencanakan pembalasan. Tiba-tiba Prita memikirkan asumsi-asumsi liar. Sebab ia sering bermimpi seorang perempuan pucat dengan air mata darah berdiri memandanginya dari jendela seakan ingin memberi tahu sesuatu. 

***

Si gadis jemu menghadapi tingkah bapak tirinya yang makin semena-mena. Dia merasa menjadi tahanan rumah sejak lelaki itu masuk dalam kehidupannya dan emaknya. Ditambah emaknya tak pernah membelanya sama sekali. Ia selalu menyetujui apa pun langkah yang diambil pria itu. 

"Aku tidak mau sampai kehilangan suami lagi," kata emaknya sewaktu si gadis memohon agar emaknya menceraikan bapak tirinya. Ia tahu selama menikah dengan lelaki itu emaknya tidak pernah merasa bahagia. Bahkan ia sakit-sakitan karena terus-terusan makan hati lantaran suaminya itu pengatur dan pemalas yang tidak pernah menafkahi keluarganya. 

Suatu hari si gadis bertemu dengan sepupunya dari kota. Sepupunya itu sebenarnya masih seusianya. Tetapi nasibnya lebih beruntung. Ia dikirim orang tuanya melanjutkan pendidikan dan berkarier di luar kota. Dan, semenjak bertahun-tahun hidup di ibu kota penampilannya sekarang telah berubah drastis. Membuat semua orang pangling. Kulit wanita itu terang, bersih, dan mulus menandakan sangat dirawat. Tubuhnya montok, tetapi tidak terlalu gemuk. Rambutnya hitam dan sangat lurus, bahkan seekor nyamuk akan tergelincir bila jatuh di atasnya.  Pakaiannya modis dan anggun. Yang membuat si gadis makin iri, sepupunya pulang dengan membawa mobil sendiri. Sepupunya itu adalah gambaran wanita sukses yang dahulu si gadis idam-idamkan. 

"Lu gimana? Udah ada rencana married?" tanya si sepupu. 

Si gadis menggeleng. Jangankan menikah, bertemu laki-laki saja sulitnya bukan main. Bapak tirinya sangat protektif dan melarang pemuda-pemuda di desa ini mendekatinya. 

"Daripada lo tua-tua di kampung, mending ikut gue aja deh. Di sini lo bakal stres sendiri ngadepin bapak tiri lo yang kolot itu. Di tempat gue nanti, lo bebas mau pake sepatu heels, mau setinggi 20 cm kalo perlu. Pokoknya bebas!"

"Tapi ..."

"Lo pengen kan sukses kayak gue?"

Merasa terus saja sendirian, kehilangan kebebasan, dan tersiksa fisik dan batin, akhirnya si gadis tergoda ajakan sepupunya. Tanpa berpamitan, ia mengendap-endap pergi meninggalkan rumahnya. Ia berangkat menuju ke tempat yang dijanjikan sahabatnya di kota. Konon, di tempat itu ia dapat hidup bebas dan dapat mengenakan sepatu hak merah tanpa dicaci-maki siapa pun.

***
Setelah mengisap dua batang rokok sampai tandas, Prita mengatupkan jendela. Jam dinding sudah menunjuk angka sebelas. Ia bergegas ke kamar Jono, memastikan anak semata wayangnya itu sudah lelap. Prita tersenyum kecil tatkala mendapati Jono nyenyak mendekap gulingnya. Tampaknya Jono telah terbiasa tidur tanpa didongengi oleh ibunya seperti tahun-tahun lampau. Dahulu anak itu susah sekali tidur dan sangat penakut. Ia kerap terbangun tengah malam dan menjerit-jerit ketakutan. 

"Ibu! Bibi itu selalu ingin masuk ke kamarku! Dia terus memanggil-manggil namaku!" cerita Jono sambil menunjuk-nunjuk tirai jendela yang terangkat dan mengembang diembus angin malam. Rupanya putranya itu lupa menutupkan jendela sehingga berkhayal yang tidak-tidak. Prita terkenang bagaimana ia kepusingan mengatasi penyakit penakut menahun anaknya kala itu. Atas petunjuk dari sahabat biduannya, ia sempat membeli buku-buku cerita bergambar dan mendongengkan bergantian pada putranya, tetapi itu tak mempan juga. Joni masih sering terbangun tengah malam dan selalu menyebut bibi berambut panjang berwajah seperti boneka minta dibukakan jendela. 

***

Di kota si gadis bekerja menjadi pelayan toko sepatu milik sepupunya itu. Pada awalnya hidupnya berubah membaik dan impiannya mengenakan sepatu merah berhak tinggi dengan cepat terkabulkan. Tetapi tidak lama kemudian, semuanya hancur dalam sekejap. Sekompi polisi datang menangkap sepupunya. Semua aset, termasuk toko sepatu itu dirampas karena dibangun dari hasil pencucian uang. 

Si gadis tidak punya keluarga atau kenalan sama sekali di kota. Ia juga tak tamat sekolah tinggi. Satu-satunya yang ia miliki adalah keberaniannya untuk tetap hidup. Maka ia dengan sepatu merahnya berkeliling mencari pekerjaan di ibu kota yang keras dan kejam. Tetapi tidak ada pekerjaan yang sesuai dengan dirinya. Sebenarnya banyak pekerjaan yang ia dapat ia kerjakan, tetapi para wanita terlalu takut mengambil risiko membiarkan si gadis masuk ke dalam kehidupan mereka. Meskipun ia kelihatan kampungan dan berdandan sangat norak, semua orang akan sepakat kalau ia cantik. Kecantikannya dapat membahayakan rumah tangga mereka.

Setelah berhari-hari mengelilingi ibu kota, mengunjungi pelosok-pelosok tempat itu, si gadis putus asa karena tak kunjung mendapatkan pekerjaan. Ia tak punya pilihan selain mengambil jalan pintas. Lagi pula, ia butuh uang untuk membayar sewa tempat tinggal dan kebutuhan makannya. 

***

Prita sangat buntu akal dan putus asa mencari cara menghentikan penyakit yang menimpa Jono. Dia pernah mencekoki obat anthistamin supaya anaknya tertidur. Dia sudah pernah meminta bantuan dukun, ustadz, bahkan juga pernah melibatkan pendeta. Semuanya cuma menjelaskan kalau rumah tua bekas peninggalan suaminya ini angker. Ada arwah jahat yang berdiam di dahan jambu air di dekat kamar putranya. Arwah itu suka berkeliaran menakut-nakuti anak kecil. Mereka bilang bisa mengusirnya. Namun, tak satu pun ritual pengusiran mereka membuahkan hasil. Maka Prita tidak punya cara lagi selain membuat antitesis dari rasa takut putranya itu. Ia mendongengkan kisah yang buat sendiri. Bagi Prita, masalahnya bukan terletak pada rumah ini, atau hantu itu, melainkan pada ketakutan yang terus dipelihara putranya. 

"Jon, bibi yang kau lihat itu sebenarnya perempuan cantik. Ia sangat cantik sampai seorang pemuda tampan jatuh cinta padanya. Lalu mereka menikah dan pindah ke tanah kita. Sebelum rumah kita berdiri, mereka sudah membangun rumah bagus di sini. Tetapi bibi cantik yang baik mengalami hal buruk. Ia mati karena jatuh terduduk sewaktu menimba air. Suaminya yang berduka lantas pergi lalu menikah lagi. Rumah mereka dikerubungi semak belukar dan lama-lama roboh sendiri. Maka bibi cantik itu sedih dan terus menangis di sini. Karena sering menangis wajahnya berubah jadi jelek dan menakutkan. Tapi dia tidak jahat. Dia hanya mengganggumu karena kamu takut dengan wajahnya."

"Jadi dia baik, Bu?" tanya Jono lugu.

"Ya. Sekarang kalau kau lihat lagi bibi cantik itu datang dan mengintip, jangan lagi merasa takut. Cukup bilang sama dia, "Bi, aku mau tidur. Pergilah dari sana! Aku tahu kau sedih, tapi aku tidak ada urusan denganmu.""

***

Di usianya yang menginjak ke tiga puluh lima, si gadis menemukan laki-laki yang bersedia melepaskannya dari dunia hitam yang ia lakoni. Selepas menikah, mereka pun pulang ke kampung halaman suaminya. Mendirikan rumah dan membangun keluarga bahagia. Tidak ada yang tahu nasib si gadis. Apakah ia masih hidup atau kini menjadi hantu?
Eki Saputra
Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Related Posts

Posting Komentar

Popular

  • Surel
    M enurutmu hal seperti apa yang paling dibenci oleh seorang youtuber-tutorial-memasak sepertiku s…
  • Gugatan Perempuan Malam
    Dia gentayangan bebas di malam hari. Ketika malam purnama tiba, ia mulai membalas dendam pada anak …
  • Menunggu
    Tik. Arloji di tanganku bersuara. Jarum pendeknya bergerak pelan tapi pasti, berbarengan putaran ja…
  • Hantu Air
    Demoniac clouds, up-pil’d in chasmy reach Of soundless heav’n, smother’d the brooding night;  Nor c…
  • Catatan Ringan (2): Tentang Kebencian di Media Sosial
    "Fenomena ini cukup mengerikan sih. Bayangkan jika Anda (penulis) tak sengaja melakukan sesuat…
  • Drama Gerbong Kereta
    I Aku mengamati besi tua di hadapanku, setua diriku, kata istriku yang selalu menuntut ini itu. Ber…