Laporkan Penyalahgunaan

Tags

Recent Posts

Recent Comments

Nature

Facebook

Popular Posts

Gugatan Perempuan Malam

Posting Komentar

Dia gentayangan bebas di malam hari. Ketika malam purnama tiba, ia mulai membalas dendam pada anak manusia,  mengelilingi penjuru bumi, mencari mangsa, para laki-laki. Lalu bermain-main dengan mereka hingga menyebabkan mereka memancarkan benih.




Peristiwa ini mungkin akan sulit untuk dipercaya. Tidak akan ada siapa pun yang berkenan memercayai ceritaku walau aku sodorkan bukti yang sangat otentik dan akurat pada mereka. Aku tahu bahwa masa kejayaan kisah-kisah supranatural sudah berlalu di zaman ini. Di tahun-tahun sekarang, orang tanpa tedeng aling-aling lagi mengatakan bahwa hanya kaum bodoh dan tertinggal mundur ke belakanglah yang masih mengakui adanya misteri dan kisah gaib yang tidak dapat dimengerti. Kisah yang saat engkau dihadapkan dalam situasinya, kau seperti  menebak jalan yang benar di lorong gelap dan berliku-liku penuh hantu. Dunia yang ganjil. Yang mengaburkan antara tidur dan bangun, hidup dan mati, nyata dan tidak. Mencampuradukkan antara kebenaran dan praduga. Kenyataan dan bukan khayalan.
Saat kau menghadapi dunia semacam itu, jangankan pendengarmu, kau pun mulai meragukan kewarasanmu. Kau mungkin berharap diyakinkan dengan hadirnya penerimaan orang lain, tetapi mau bersumpah demi Tuhan jutaan kali sampai bibirmu koyak, liurmu kering, atau lidahmu putus, ironisnya akan sangat sedikit yang percaya denganmu--bahkan mungkin tidak ada--dan kau harus siap menelan pil kecewa karena ternyata ... (ia meringis dan mengigit bibirnya sendiri) lebih nyata mereka yang menyangsikan ucapanmu ketimbang yang menerima.

Kau merasa terganggu. Meskipun kau tahu kalendermu memang bergerak maju dan kau menjalani hari-hari dengan jejak kaki yang menapak ke tanah, kau ingat satu ditambah satu sama dengan dua, kau tahu membedakan antara wajah istrimu dan tukang jamu gendong yang mampir sebentar, kau ingat masa lalumu sebaik kau mengingat malangnya dirimu, kau tetap saja dihantui rasa ragu dalam benakmu dan teror penyangkalan dari orang lain. Itulah yang aku alami, wahai anak muda! Kau bukan tanpa alasan menemukanku di tempat ini. Penyebabnya karena dunia ini menolak mendengarkan orang sepertiku. Aku dianggap sakit. Tapi percayakah kau kalau aku sakit? Adakah orang sakit memiliki ingatan sebaik diriku dan mampu menuliskan kisah sejernih ini?

Coba kau lihat gadis di kamar 23. Namanya Desmari. Dia pasien yang baru datang sebulan yang lalu. Dia anak yang manis, lugu, begitu sepenglihatanku. Usianya mungkin beda setahun-dua tahun darimu. Kau lihatlah dia baik-baik. Aku sudah pernah berbicara banyak dengannya. Dari caranya bercerita aku tahu bahwa dia anak baik dan sehat pikirannya. Tapi dia punya masalah hidup yang sangat serius. Dokter Dewandaru tidak tahu akar masalah yang dialaminya dan lebih mudah menerima fakta jika gadis malang itu mengalami guncangan jiwa karena lama berjibaku dengan skripsi dan dosen jahat yang merusak target yang sudah dirancangnya. Itu cuma asumsi orang tuanya supaya bisa menjebloskannya kemari karena tak mau pusing-pusing menghadapi ketidaklaziman laku anaknya sendiri.

Nah, begitulah, Yoseph, orang-orang lebih mudah menuduh kami gila daripada menerima cerita kami sebagai kebenaran.

Tapi, Nak Yoseph, kau perawat baru di sini, jadi aku berani membuka mulutku padamu lebar-lebar. Tentu aku dapat menduga pasti setelah kuceritakan nanti kau segera mencibirku sama seperti perawat-perawat lain, atau Dokter Dewandaru yang lihai berpura-pura memahami lisanku itu. Aku memaklumi. Karena tidak akan ada orang yang logis dan realistis mana pun yang mampu menerima pengakuanku tanpa mencebik dan meragukan kewarasanku, biarpun itu bergumul di mulut atau kusut di kepala mereka.

Kau pun mungkin sebelum ini sudah mendengar desas-desus kalau aku sakit jiwa lantaran rangkaian masalah, musibah, kecelakaan yang parah menerpaku di masa lalu. Kau mungkin tercenggang sebab belum pernah mendengar orang sakit jiwa bicaranya sejernih dan sejelas ini. Ingatanku bahkan mengalahkan isi kepala orang-orang yang dinilai waras pemikirannya. Karena bakat ingatanku yang keterlaluan bagus ini dan ceritaku yang nanti sulit dicerna akallah, aku mendapat diagnosis yang paling mematikan. Bahkan membunuh hak-hak kemanusiaanku. Dengan dinyatakannya aku gila, maka resmilah dunia menutup mulutku dan mengamini prasangka mereka saja terhadapi diriku. Padahal, mereka mengada-ada dan menyampingkan suara pribadi si empu yang sakit.

Demikianlah. Manusia di zaman modern cenderung menyederhanakan segala hal. Mereka suka menamai pola-pola sikap, laku, dan cara pikir yang unik, langka, ajek, dan tidak lazim yang dilakukan manusia. Kemudian hal lain itu mereka namakan dengan konotasi buruk sebagai bentuk "kelainan". Kelainan jiwa. Gila. Sinting. Narsistik. Psikopatik. Depresi. Bipolar. Anxiety. PTSD. Dan banyak yang tidak dapat kuingat nama-namanya. Aku pernah mendengar itu dari mulut Dokter Dewandaru. Belum lagi nama-nama turunannya yang rumit. Makin lama jika aktivitas penamaan dan penetapan kelainan dibiarkan terus-terusan tak lama lagi semua manusia akan dianggap orang-orang sakit. Dan ini paradoks. Jika semua orang sakit, itu artinya tidak ada yang sakit.

Aku sudah lari jauh dari kisahku. Baiklah. Kembali aku ceritakan kisah yang terputus tadi.

Sebetulnya, aku terlalu berlebihan kalau mengatakan padamu kalau semua orang menolak pengakuanku. Yang benar adalah  tidak semua orang menolak ceritaku. Tidak semua orang skeptis. Masih ada keyakinan dari beberapa orang, yang keparatnya itu tidak menjamin mereka memiliki kepercayaan yang sungguh-sungguh. Kerap kali mereka hanya membenarkan bagian-bagian yang sesuai dengan bayangan mereka atau kisah-kisah yang mereka hayati. Aku tahu mereka tidak ingin mendengar kebenaran yang aneh. Satu-satunya yang mereka inginkan adalah kepercayaan-kepercayaan mereka diamini dan tradisi agama mereka divalidasi oleh orang lain. Aku tidak bahagia mendapat pengakuan dari orang semacam mereka. 

Rambutnya hitam panjang tergerai, kulitnya pucat, dan seringainya mengundang bahaya.

Kau mungkin tidak akan mendapatiku di kamar ini andai saja dahulu ada satu orang yang memberikan telinga bersama segenap hati dan pikiran mereka untuk memahamiku. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa mendapatkan dukungan dan keyakinan dari orang lain, sementara istriku sendiri tak mau memberi satu kesempatan saja memercayai kisah perjalananku itu. Aku tahu akalnya sulit menjangkau kebenarannya, bahkan ia enggan menganggap ini 'kisah pengalaman pribadi'. Ia lebih percaya bahwa ceritaku racauan dan tanda-tanda ganjil yang mengharuskanku menjalani konseling dan terapi di rumah sakit. Atau menenggak pil-pil besar dan pahit hingga ke tulang. Dia lebih sudi memboroskan uangnya membayar psikolog dan psikiater agar aku sejalan dengan pemikiran masyarakat. Dengan kata lain, istriku sudah menuduhku berbohong padanya. Pikiranku dianggapnya sudah terganggu lantaran aku tertekan dengan masalah hidup yang menimpaku. Kau harus disembuhkan, ia mengatakan kalimat menyakitkan itu padaku lebih dari selusin kali. Membuatku lama-lama percaya kalau aku ini sakit.

Sesungguhnya aku marah dengan tuduhan itu. Jika seseorang sehari-harinya makan, minum, duduk, gosok gigi, tidur, bangun selalu bersamamu, seharusnya ia tahu banyak sisi kehidupanmu. Dia tahu baikmu dan burukmu. Dia paham dengan keruwetan dan tetek bengek masalah hidupmu. Dia bahkan melihat sudut terdalam di kulitmu. Sehingga kedekatan yang sangat kental dan intens di antara kami sepantasnya membuat kami saling mengerti satu sama lain. Sayangnya, itu tidak pernah terjadi. Hubungan kami sebatas permukaan belaka.

Bilamana ia haus, ia menggigit orang dan menghisap darah mereka sebagai pelega dahaganya.

Maka, Eva, istriku yang berwajah dingin dan berbadan gempal itu mengira ia mampu meramal gelagat buruk dari tingkahku. Niat hatinya sebenarnya baik, yakni ia ingin membawaku pada kebiasaan lamaku lagi. Ia mengharapkanku jadi Adam yang ceria. Yang riang memeluknya. Atau terbenam jatuh pada peluknya. Tapi semenjak hidupku terus diwarnai duka dan 'hal-hal yang tidak dapat dijelaskan dengan nalar' aku merasa kami telah berjarak sedemikian jauhnya. Terasa hubungan kami sudah selesai sejak lama. Bertahun-tahun sejak pertemuanku dengan seseorang di malam Jumat bertahun-tahun lalu. Sejak hari itu aku benar-benar kehilangan minatku pada Eva. Aku merasa tidak nyaman bila di dekatnya. Aku kesal, benci, muak bila menatap wajahnya. Di dalam kepalaku Eva hanyalah perempuan sial yang membawaku pada petaka dan keburukan yang tidak pernah kuharapkan. Bila melihat Eva aku langsung teringat bagaimana kelabunya masa laluku. Bayangan wajah Bapak menghajarku dan menyeretku secara paksa keluar dari istana miliknya selalu hadir mengundang sesal. Rumah besar itu seharusnya diwariskan padaku, tetapi karena bujukan Eva, aku sampai tega mengkhianati orang tuaku sendiri. Kebun buah yang seharusnya tidak pernah kupindahtangankan sebab warisan dari kakek kepada Bapak malah aku gadaikan tanpa sepengetahuan Bapak. Aku memalsukan tanda tangan surat hibah dan menjadikannya jaminan untuk investasi yang kukira akan menghasilkan keuntungan berlipat-lipat. Namun bukan keuntungan yang kuterima, malah aku buntung dan dikejar-kejar penagih utang.

Di setiap tempat yang terdapat pria dewasa tidur sendirian dan nyenyak. Ia akan datang mengunjungi, lalu menangkap, memenjara, dan mengikat tubuh sang mangsa dalam lilitan ekornya. Lewat mata jahatnya, ia menyihir mangsa sehingga kehilangan kemampuan menolak. Dia tak kenal iba pada siapa saja. Bila gagal menyihir dia tak segan menimpakan pria itu dengan penyakit. Semua ini bertahan lama hingga bulan di langit memudar. Sebelum nantinya ia meminum darah mangsanya, menghisap tulangnya, dan memakan dagingnya sampai tak bersisa.

Sebelum aku bagikan kisahku padamu, maka sewajarnya kisah perpisahanku dengan keluargaku tadi perlu juga engkau ketahui. Itu cerita yang sudah lama terjadi dan penyebab pengusiran kami bukanlah pasal tanah belaka. Aku sempat bilang padamu kalau Eva penyebabnya. Memang itulah kenyataannya. Eva itu adik tiriku. Dia putri dari istri kedua Bapak. Hubungan kami tidak normal dan tidak diterima baik dalam tradisi dan agama. Tapi siapakah yang dapat menahan diri dari hasrat dan perasaan cinta yang membara? Malam itu kami diusir setelah ketahuan bermain curang dengan tanah dan menikah secara rahasia di gereja tanpa memberi tahu mereka. Sejak hari itu, aku merasa bahwa aku dan Eva benar-benar sudah dikutuk. Mama Eva memaki kami dan berkata kami tidak pantas menginjak rumah mereka lagi dan kami harus memulai kehidupan dari nol. Mama Eva bahkan mendoakanku masuk ke lubang neraka jahanam karena menjerumuskan adik tiri dalam kehidupan sengsara.

"Kau akan jadi kerak neraka! Kau biadab dan hina menikahi adikmu sendiri!" jeritnya sebelum menampar dan mengusirku.

Mereka sangat tega padaku.

Aku putus asa. Aku tidak terbiasa hidup susah sejak kecil. Bapak dari dulu dapat mengabulkan permintaanku tanpa perlu aku bersusah payah bekerja. Karena kupikir kehidupanku bakal terjamin dan masa depanku dilindungi keluargaku, jadi aku tak pernah berniat melanjutkan pendidikan selepas lulus SMA. Akhirnya, aku jadi manusia terlunta-lunta.

Kebencian dan ketakutannya adalah terhadap bayi dan anak-anak.

Setahun lepas dari keluarga, hidupku dan Eva luntang-lantung. Kami berpindah-pindah tempat. Mencari suaka. Mencari rumah yang dapat diangsur dalam jangka yang lama. Aku bekerja kasar dan Eva serabutan. Di tahun pertama pernikahan kami itu pula putriku yang baru lahir meninggal dunia bahkan sebelum aku memberinya nama. Tahun-tahun berikutnya aku mulai mendapatkan pekerjaan sebagai sopir pabrik dan keuangan kami tidak jatuh merosot dibandingkan sebelum-sebelumnya. Namun kesenangan kecil di keluarga kami cuma bertahan sebentar. Kurang dari dua tahun aku dipecat sebab ketahuan mencuri solar sebagai pendapatan sampinganku. Setelahnya, aku nyaris dua tahun menjadi mayat hidup karena terlalu lama menganggur.

Kemudian tawaran itu tanpa disangka-sangka datang padaku.

Di bawah mendung yang menggumpal hitam, di depan sebuah emperan toko yang sudah tutup mungkin sejak siang, aku terduduk pasrah dengan bola mata hampir keluar lalu menggelinding ke jalan karena kecewa dengan kabar penolakan yang baru aku terima sore itu. Aku gagal lulus interview untuk menjadi staf marketing di perusahaan barang elektronik. HR itu bilang aku memenuhi beberapa kriteria, kecuali satu hal, yaitu aku tidak memiliki cukup pengalaman untuk mengisi posisi itu. Kegagalan sekali mungkin tidak akan mematahkan hati. Tapi di tahun itu sudah puluhan kali penolakan yang aku alami. Aku dilanda ketakutan yang belum pernah kujumpai seumur-umur. Tubuhku menggigil mencemaskan masa depan keluarga kecilku. Eva yang tengah hamil anak kedua kami. Tunggakkan rumah yang menumpuk. Utang-utang di warung. Utang-utang di tetangga. Utang-utang di lintah darat. Aku hampir mati!

Lalu sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat di depan toko. Memarkir dengan buntutnya mengarah ke mukaku. Seorang lelaki perlente dengan kemeja kelabu dan celana hitam dengan lipatan garis setrika rapi turun dari mobil. Tatapannya kosong dan gerak tubuhnya kelihatan tidak wajar. Terlalu lemah dan seakan jasad lelaki itu kopong karena tidak memiliki jiwa lagi. Aku merasa dia tidak seperti orang pada umumnya. Dia tersenyum kecil padaku sebelum membuka kunci toko dan mendorong pintu rolling door. Senyuman yang terasa tidak nyata. Ternyata toko ini miliknya.

"Maaf. Apa Bapak butuh karyawan baru di sini?" Aku memberanikan diri bertanya. Aku lekas-lekas berdiri dan menjabat tangannya yang terasa sedingin es.

"Tidak," ucapnya sambil menggeleng pelan. Waktu ia membuka mulut aku kagum pada barisan gigi di dalam mulutnya yang putih dan rapi.

Kemudian ia masuk ke dalam celah pintu kecil yang dibuat muat hanya untuk seukuran badannya. Saat itu aku tiba-tiba merasa mencium bau yang entah. Bau yang membangkitkan ketakutan yang lama terlupakan. Aroma purba yang membawaku pada ingatan yang mengerikan. Hari ketika istriku berjuang melahirkan putri pertama kami. Namun, setelah berjuang keras keluar dari dalam perut ibunya, bayi kami kaku dan tak mengeluarkan raungan tangis. Anyir merah. Darah yang tak sengaja kuendus di hari mimpi buruk dan kelam. Sekarang anyir itu menyengat wangi dan menyebar keluar dari tempat ini. Aku melangkah mundur dan bergegas akan meninggalkan tempat itu segera. Tetapi kemudian pria dengan tatapan kosong itu keluar dan memanggilku kembali.  Ia berkata, "Bisa kau bantu aku memindahkan mayat di dalam?" Membuatku nyaris lari terkencing-kencing dan hampir berlari melapor ke kantor polisi.

"Hanya mayat kucing liar," lanjutnya. Aku menarik napas lega. Kupikir ia sengaja menukar kata bangkai dan mayat agar orang penakut sepertiku gentar.

Aku mengangguk dan mengikutinya ke dalam. Rupanya kucing hitam yang malang itu mati tertimpa lemari di dalam toko barang-barang antik miliknya. Setelah membantunya mengangkat lemari kayu jati berukir yang berat, lalu membungkus jasad kucing yang remuk dan berdarah-darah itu, lantas ia memanggilku masuk ke dalam ruang pribadi miliknya. Ia mengambil empat lembar uang lima puluhan dari laci meja dan memberikannya padaku, "Ambil ini sebagai tanda terima kasih karena kamu sudah membantu saya,"

Aku menggeleng. "Tidak usah, Pak. Tidak perlu! Ini pekerjaan mudah." Jumlah yang fantastis untuk pekerjaan yang kelewat gampang. Upah yang seakan meremehkan.

Semula aku gengsi mengambil uang yang ia tawarkan karena tak ingin harga diriku jatuh. Dahulu uang sebanyak itu tidak ada apa-apanya buat orang sepertiku. Bahkan seisi tokonya sanggup aku beli jika aku mau. Tapi dalam hati kecilku aku tak mampu mengelabui bahwa uang itu sangat berarti untuk sekarang. Pemberiannya sungguh sentimental. Aku merasa berdosa begitu menolaknya. Padahal, istriku harus menyetrika pakaian tetangga dan menjual sarapan nasi uduk bila ingin mengumpulan uang sebanyak itu.

"Ambillah," ulangnya sekali lagi. Kali kedua ia menawarkan, aku membinasakan keangkuhan dalam diriku. Kuraih uang itu dengan perasaan malu-malu.

Kami berbincang. Tak disangka pria itu tak sekelam yang tergambar dari tatapan matanya yang kosong itu. Namanya Takardi Hermawan. Ia seorang kontraktor sukses. Ia sudah sepuluh tahun pindah ke kota ini. Beberapa tahun lebih awal dibandingkan aku dan Eva.

"Kota ini belum terlalu berisik dan istriku suka," Pak Taka membagikan alasannya pindah memboyong istrinya kemari. "Tapi dalam waktu dekat sebenarnya kami berniat pindah."

Kata Pak Taka, ia menderita kutukan sejak ia dan istrinya memutuskan membeli sebuah rumah tua di dekat danau kecil di pinggiran kota kami. Rumah besar peninggalan kolonial itu dibelinya murah dari seorang pengusaha yang bangkrut. Gara-gara rumah itu ia merasa hidupnya hancur dan kehilangan gairah. Ia gelisah sepanjang malam dan mengalami insomnia akut. Kadang ia suka paranoid dan mimpi buruk. Membayangkan ada "sosok" yang selalu mengawasinya dari jauh dan mengancam nyawanya dan istrinya. Dibuktikan terjadi hal paling mengerikan. Asisten rumah tangga mereka meninggal secara misterius di rumah itu. Disusul penjaga rumah yang ditemukan mati mengambang di danau.

"Sampai detik ini aku merasa ia terus mengancamku," cerita si pemilik toko dengan mimik yang kehilangan ekspresi. Wajahnya pucat pasi, dahinya berkeringat, dan bibir putih mengingatkanku dengan mayat ibuku yang meninggal saat aku masih kelas lima SD.

"Dia di sini?" Aku mengangkat alis tidak mengerti.

"Ya. Dia ada di mana-mana."

Saat itu aku tidak tertarik menanyakan lebih lanjut siapa yang dibicarakan. Penampilannya yang kelihatan intelek sungguh berbanding terbalik dengan pemikirannya yang masih kuno.

Demikianlah awal mula kedekatanku dengan Pak Taka. Karena ia mungkin kasihan melihat kondisiku yang melarat, ia akhirnya menawarkanku pekerjaan tanpa serentetan tes dan berkas yang buang-buang biaya. Lagi pula, ia benar-benar membutuhkanku buat menggantikan pegawai lama tokonya yang meninggal. Belakangan aku baru tahu alasan toko itu dulunya selalu tutup karena Pak Taka meredam isu-isu yang mengaitkan kematian pegawainya dengan toko miliknya. Kudengar pegawai bernama Eliza itu ditemukan tewas terbakar di kamarnya, di tangan kanannya menggenggam salah satu gelas keramik antik yang dicurinya dari toko Pak Taka. Tubuh Eliza gosong dan matrasnya habis mencair. Sebenarnya kejadian semacam itu bukan hal ganjil. Ponsel meledak karena digunakan sembari mengisi daya jamak terjadi.

Di toko barang antik milik Pak Taka beragam artefak dijejerkan dalam etalase khusus di lantai satu. Banyak relikui dan benda kuno yang dibelinya dari mana-mana. Senapan-senapan zaman kolonial yang sudah tak bisa digunakan juga dipajang. Patung berbentuk wanita tanpa tangan yang ditemukan oleh warga saat menggali sumur di dekat pekuburan pecinan. Boneka voodo dengan wajah menyeramkan yang konon dibuat untuk membunuh anak-anak raja zaman dahulu.  Juga aneka benda-benda pusaka seperti pedang, tombak dan keris yang dianggap memiliki kekuatan magis. Kata Pak Taka, dia mendapatkannya sewaktu menjelajah suku pedalaman di Kalimantan. Berkat tawar-menawar dengan kepala suku di daerah sana, ia berhasil mendapatkan sebuah tombak yang dikutuk seribu dewa. Tombak itu ia taruh dengan kotak kaca berbeda di muka toko. Maka jangan heran kalau Pak Taka masih punya cara pandang kurang modern dan percaya pada hal-hal berbau takhayul. Sebab itulah yang menjadi daya pikat pada tokonya. Dan itulah konsep jualannya: benda+takhayul.

Jika kau berkunjung ke lantai kedua, di sana tersedia banyak alat elektronik keluaran lama lengkap dengan sejarah pemiliknya. Ia juga mengoleksi buku-buku dan majalah yang membahas segala yang berbau misteri dan horor. Ia bahkan menyediakan rak-rak khusus untuk koran lama yang disusun urut sesuai dengan tahunnya.

Dan lantai tiga.

Pak Taka tak mengizinkanku naik ke lantai tiga karena di sana banyak barang-barang titipan pemilik bangunan yang asli. Ia tidak tahu barang apa tepatnya disimpan di situ. Tetapi, menurutnya ada risiko kerusakan jika seseorang berani mendekatinya. Ia menegaskan tak akan mengganti rugi kalau aku sampai merusak barang-barang di lantai tiga. Aku pun tidak berminat naik ke sana setelah mendengar peringatan itu.

Hari pertama bekerja, Pak Taka membiarkanku menyimak dan mempelajari sejarah benda-benda antik di tokonya. Lalu pukul sembilan pagi ia pamit dengan menitipkan kunci dan memintaku untuk membuka-menggembok toko setiap hari.

"Ingat dua aturan tadi. Jangan naik ke lantai tiga dan tutup toko sebelum malam!" ia mengulangi peringatkan dengan nada yang terdengar menakut-nakuti.

Suatu hari di minggu pertama, saat toko sedang sepi pengunjung, aku tak sadar jatuh tertidur di meja kasir. Tiba-tiba aku mendengar suara teriakan kesakitan dari lantai atas. Karena terjaga dalam keadaan panik aku mengira jeritan yang pedih dan memilukan itu berasal dari toko ini. Sekonyong-konyongnya dengan takut bukan main aku lari ke lantai dua. Tetapi nihil. Aku tak menemukan ada apa pun di sana. Didera rasa khawatir, aku langsung berlari mendaki tangga lantai terlarang. Aku mengira jeritan itu bersumber dari ruangan di sana. Tapi seketika aku beringsut mundur tatkala ingat pesan Pak Taka. Aku pikir, barangkali suara jeritan itu cuma mimpi burukku. Sebab aku sebelumnya membaca kisah seram kuntilanak di majalah horor. Setelah kejadian janggal hari itu, suara jeritan perempuan itu tidak pernah terdengar lagi.

***

Selama tiga bulan bekerja dengan Pak Taka aku merasa betah. Gajiku dibayar tepat waktu dan tak kurang serupiah pum meskipun ada minggu-minggu kami tak menjual satu barang sama sekali. Pak Taka juga memberikanku keleluasaan buat mengelola isi toko, mengatur ulang letak barang yang kami jual, dan mengubah suasana toko agar lebih bersahabat. Di waktu-waktu senggang aku dapat mengisi kekosongan dengan membaca buku-buku cerita horor di lantai dua. Ada meja kayu lebar dan kursi plastik disediakan di sana khusus untuk pengunjung yang suka membaca. Tapi zaman sudah berubah. Tidak ada lagi orang yang berminat pada buku-buku. Semua orang lebih senang bermain gawai. Maka agar tidak sia-sia dan berdebu saja meja dan kursi-kursi itu kuputuskan buat digunakan sendiri.

Dari semua buku, aku paling menikmati novel Pembalasan Ibu Setan karya J. Porana. Novel itu menceritakan kisah Lilith, perempuan pertama yang terusir dari surga lantaran ia menuntut kesetaraan pada suaminya. Aku masih ingat sedikit dialognya. Kau mau dengar?

***

"Kau harus di bawah. Bapak menciptakan kau sebagai pasanganku dan dalam kuasaku. Tunduklah pada kata-kataku karena aku suami yang menjadi sebab kelahiranmu."

"Kau suamiku, tapi kau tidak bisa menguasaiku atau mengendalikan diriku. Aku tidak mau tunduk padamu. Aku diciptakan karena memang akan diciptakan. Ada atau tidaknya kau. Aku akan tetap dibuat. Tulang rusukmu hanya bahan perantara."

"Kau melanggar kata-kata Bapak, Lilith. Kau tahu dampak kedurhakaanmu ini?"

"Aku tidak melanggar. Yang kulakuan hanya meminta hakku."

"Terkutuklah Lilith! Kau akan binasa dan sengsara karena kelancanganmu."

"Ada apa denganmu Pria Pertama? Mengapa kau ingin sekali mengontrolku? Apakah kau sedemikian cemburunya pada kesempurnaan tubuhku ini? Apakah kau takut jika aku sampai mengambil hati Bapak?"

"Kau harus di bawah. Titik. Bapak menciptakan kau sebagai pasanganku dan harus tunduk pada kuasaku. Tunduklah pada kata-kataku karena aku suami yang menjadi sebab kelahiranmu."

"Kau hanyalah suamiku, tapi kau tidak akan kuizinkan menguasaiku atau mengendalikan diriku. Aku tidak mau tunduk padamu. Aku diciptakan karena memang akan diciptakan. Ada atau tidaknya kau. Aku akan tetap dibuat. Tulang rusukmu hanya perantara. Jangan lupa, kau pun berasal dari sebongkah tanah liat."

"Kau melanggar kata-kata Bapak, Lilith. Sikap jalangmu ini akan membuatmu celaka. Celakalah kau!"

Kemarahan suami Lilith mengundang tawa riang iblis di neraka. Bapak menjadi murka karena dia harus terbangun dari tidur siangnya akibat mendengar pertengkaran Adam dan Lilith.

"Siapakah yang memulai pertengkaran ini?"

"Dia, Bapak!" Pria Pertama menunjuk dada Lilith, "Dialah yang memancing amarahku."

"Tidak! Aku tidak memulainya. Aku cuma menolak permintaannya saja."

"Kau menolaknya?"

"Benar, Bapak. Dia memintaku duduk di rumput, sementara ia duduk manis di batu menatap kerubinan yang asyik bermain-main. Aku tak mau melakukannya."

"Kau dengar, kan, Bapak? Kau dengar sendiri tindakan Lilith. Lilith yang kau ciptakan dariku sudah berani menentangku, padahal aku hanya mengikuti pesanmu."

"Lilith! Sadarkah kau dengan ucapanmu?"

"Ya, Bapak! Aku sangat sadar dan saat ini kondisiku segar bugar. Aku cukup muak dengan sikap sok ngatur lelaki bodoh itu. Dia menjadikanku boneka yang tidak mengizinkanku bicara atau memilih makanan mana yang boleh kumakan dan tidak kumakan. Dia juga mengatakan pada semua malaikat di surga ini bahwa aku adalah makhluk rendah di bawahnya sebab aku diciptakanmu dari tulangnya. Jika mungkin, dapatkah kau mencopot bagian tulang yang dia sumbangkan? Aku tak mau kutu busuk itu terus saja mengungkit."

"Lilith yang malang. Apa yang sudah kau perbuat tanpa sepengetahuanku?"

"Dia memang berubah akhir-akhir ini, Bapak," kata suami Lilith menghasut.

"Aku memetik buah yang tumbuh di Barat Daya. Buah pengetahuan. Aku memakannya dan sejak itu aku sadar bahwa bangsat ini memperdaya kelemahanku. Dia ingin aku terus-terusan tunduk padanya. Menjijikkan!"

"Celakalah kau, Lilith! Kau memakan buah paling berbahaya di surga. Buah itu hanya Bapak yang boleh memakannya. Kau sudah melakukan kesalahan. Dan kesalahan ini harus kau tebus," ujar suami Lilith mengompori.

"Yang dikatakan putraku benar. Pergilah kau ke bumi. Karena kau telah dikutuk. Hiduplah di di sana dengan panas dendam amarahmu. Bumi sekarang milikmu."

"Apa salahku Bapak? Kenapa kau mengusirku cuma gara-gara makan satu buah milikmu! Kejam sekali keputusanmu. Di mana hatimu?"

"Bukan kau saja, Lilith. Barangsiapa memakan buah itu tanpa izin dariku, mereka akan kubuang dari tempat ini. Hukum ini abadi."

"Karena apa, Bapak? Karena apa kau sampai hati membuang ciptaanmu sendiri? Aku ini anak yang dicetak dari tanganmu yang hangat. Lihatlah perutku yang tak berpusar ini! Lihatlah aku yang lemah di hadapanmu. Katamu kau berkuasa? Mengapa tidak kau keruk lagi buah itu dari mulutku?"

"Tutup mulutmu sundal! Kau tidak pantas memerintah Bapak dengan lancang! Pergi dari sini!"

"Diamlah cecunguk dungu! Kau makan saja ketololanmu yang mengalahkan dungu kerbau dan keledai. Yang kau tahu hanya makan, tidur, dan bermain-main. Makhluk sepertimu tak ada artinya di hadapanku," kata Lilith, murka.

"Putraku benar, Lilith. Kau harus meninggalkan tempat ini. Aku tak mau dengar pembelaanmu atau ratap sedihmu. Kau kuizinkan hidup selamanya sampai kau sadar kesalahanmu. Dan meskipun kau abadi, kau tidak mungkin berketurunan manusia. Kau bakal melahirkan seratus sepuluh anak setan setiap tahun."

"Kalau begitu tak apa aku terbuang. Aku akan pergi! Tapi aku berjanji akan membalas pengusiran ini! Aku mengutuk anak-cucu manusia yang serupa Lelaki Pertama! Mereka akan jatuh dalam kubangan dosa dan kenistaan pula. Mereka akan ingkar dari Bapak dan sujud di bawah kakiku. Aku berjanji! Camkan itu Lelaki Pertama! Sejak hari ini aku resmi menjadi musuhmu! Aku akan mencabik-cabik daging putra-putramu yang serakah dan bernafsu jahat pada perempuan, aku akan mengisap darahnya, dan aku tak segan membunuh yang pantas dibunuh.'

"Enyah kau betina terkutuk! Kau jalang anak haram jadah iblis! Sifatmu mengalahkan iblis paling laknat! Pemikiranmu sangatlah keji!" teriak Lelaki Pertama.

Kali ini Lilith menyunggingkan senyum yang jahat. Sakit karena ketidakadilan membuatnya berubah.

"Tunggu apa lagi? Keluar dari sini!" bentak suaminya. "Kau resmi bukan istriku."

"Tak usah diburu-buru, aku tahu cara pergi, wahai mantan suamiku. Jangan berbangga dulu dengan kepergianku hari ini. Lihatlah dirimu sendiri nanti! Kelak Bapak menciptakan perempuan pertama jilid dua, tetapi sikapmu yang keras, inferior, dan bodoh ini tidak mungkin berubah. Kau cuma makhluk gagal. Tanpa seorang Lilith kau tidak ada gunanya."

"Usir dia Bapak! Wanita hina dina ini mengotori surgamu!"

***

Bel toko berdering nyaring mengacaukan kegiataan membacaku. Aku buru-buru menutupkan buku. Kulirik jam tanganku, sudah pukul setengah enam. Seharusnya aku sudah bersiap pulang dan mengunci toko. Malam ini Eva ingin mengajakku ke acara selamatan bayi sahabatnya. Tapi sepertinya pembeli itu tak akan membiarkanku pergi tepat waktu. Dari tirai jendela lantai dua terlihat awan rembang petang nyalanya jingga kemerah-merahan. Aku menyia tirai dan mengintip sedikit ke arah parkiran. Memastikan dengan apa pembeli itu datang. Dari pengamatanku selama tiga bulan terakhir, pembeli yang singgah membawa mobil, besar peluang membeli barang ketimbang yang membawa motor atau naik taksi, biasanya mereka sekadar datang dan melihat-lihat. Parkiran kosong melompong. Kuduga yang datang itu pasti naik taksi.

Aku turun ke lantai bawah. Kulihat di kursi panjang dekat pintu, seorang perempuan sedang duduk dengan menyilang kaki. Ia memoleskan pupur ke pipinya yang mulus, lalu memulas pula bibirnya dengan gincu merah tua. Warna yang kontras dengan terusan tanpa lengan hitam yang ia kenakan. Rambut panjangnya yang legam terikat pita merah cerah.

Sadar aku sedang memperhatikannya, ia cepat-cepat berdiri dan berjalan mendekat. Menyunggingkan senyum menawan sehingga tampaklah dua cekung indah di kedua pipinya yang tembam. Wajahnya memiliki harmoni yang sempurna, terlalu simetris, terlalu sublim untuk dipandangi. Mata hitamnya yang dalam dan penuh dengan kecerdasan yang tersembunyi mengamatiku. Sorot mata itu begitu tajam seakan-akan ia dapat menembus jiwa seseorang. Menghipnotisku hingga tak berkutik dalam sekejap.

"Kamila," kenalnya. Suaranya sangat lembut dan sopan masuk ke telinga. Ia mendekat dan menjulurkan tangannya padaku tanpa membungkuk. Aku terpaku pada tubuhnya yang langsing bagaikan biola. Ia cantik dan mendebarkan dalam gaun ketatnya. Membangkitkan birahiku seketika.

"Adam," kataku gugup menyambut tangan mungilnya yang terasa amat halus. "Ada yang dapat kubantu?"

"Aku ingin melihat-lihat dulu. Boleh?" ia berkata sambil bola matanya meninjau ke setiap pajangan.

"Tentu, tentu. Kau bisa mencari dulu barang yang kau butuhkan. Aku akan tutup satu jam lagi," kataku mengganti rencana. Tak apa hari ini terlambat sedikit. Jarang-jarang ada pembeli yang datang seanggun ini. Kebanyakan yang mampir laki-laki tua atau perempuan dengan selera penampilan yang membosankan. Kamila berbeda.

Ia berjalan-jalan mengitari ruangan. Bola mata hitamnya bergulir-gulir pelan dan sesekali membesar jika antusias dengan benda yang ia amati.

"Mbak Kamila sebenarnya mencari benda antik seperti apa? Akan saya bantu."

"Aku mencari mangkuk mantra. Kudengar di toko ini ada mangkuk mantra."

"Mangkuk ya?" Kataku sambil berpikir keras, berusaha mengingat-ingat adakah benda semacam itu di sini. Rasanya Pak Taka sudah menjelaskan secara detail mengenai semua barang yang dijual, tapi dia belum pernah menyebut-nyebut mengenai mangkuk mantra. Barangkali aku terlewat karena tidak menyimaknya dengan fokus.

"Biar saya periksa katalog dulu. Tunggu di sini sebentar," ucapku pada Kamila. Aku bergegas naik ke lantai dua. Mencari katalog barang.

Tak lama suara ketukan sepatu hak dengan lantai terdengar menggema di lorong dekat tangga. Kamila menyusul. Ia bilang takut menunggu sendirian di bawah. Ia duduk di meja tempatku membaca novel sebelumnya. Kamila tergoda mengambil novel yang kutinggalkan di meja. Selagi aku mencari barang, ia nyaman membolak-balik lembaran novel itu sambil tertawa kecil.

"Kau sudah lama kerja di sini?" tanya Kamila setelah sekian menit membisu. Tangannya asyik membalik halaman buku.

"Baru beberapa bulan, Mbak."

"Oh, pantas kau kebingungan. Ngomong-ngomong jangan panggil aku Mbak, panggil saja Kamila, atau Mila."

"Begitulah, Mbak. Anu, Mila. Terkadang saya masih perlu mengecek katalog barang karena masih sering lupa."

Kamila mengangguk pelan. "Kau sudah menikah?"

"Kenapa? Apa wajah saya ini terlihat seperti lelaki lajang?" Aku menggodanya sambil tersenyum. Pertanyaannya membuatku kontan percaya diri.

"Tidak juga," balas Kamila sambil tersenyum kemalu-maluan. "Aku hanya penasaran."

"Sudah tiga tahun menikah."

"Istrimu pasti cantik."

"Semua perempuan di dunia ini cantik."

"Tapi aku tidak," balasnya dengan nada sedih.

"Hmm, menurut saya Anda cantik." Bagaimana mungkin dia tidak sadar kalau ia cantik. Jauh cantik dibandingkan siapa pun, bahkan istriku di rumah. Ia mirip dengan penyanyi pop yang sering wara-wiri di televisi.

"Aku?" Ia menunjuk dadanya lalu tertawa seolah tidak percaya pujianku. "Aku biasa saja." Ia merendah. Dilepaskannya gelungan pita merah di rambut panjangnya. Makin anggun nian wajahnya tatkala rambut hitam tergerai jatuh melampaui bahu.

"Tidak. Saya serius, Anda itu cantik," aku mengulangi. Kali ini dengan nada yang tegas dan penuh penekanan. Gila benar!  Kau tak mungkin tak sadar dengan kecantikanmu anak manusia. Tuhan Yesus, baru kali ini aku melihat seseorang langsung ingin memeluk dan mencium bibirnya. Ah, andai sekali saja aku bisa, seandainya ... dan tanpa mendapat dosa dari Engkau.

"Anehnya orang cantik seperti Anda kok berkelana sendiri sore-sore begini mencari benda antik."

"Aku mencari kado untuk temanku."

"Saya tebak dia pasti laki-laki. Hanya laki-laki yang punya kegemaran aneh."

"Nah, jadi sudah kau temukan mangkuknya?"

"Ada. Mangkuk sihir dengan kaligrafi arab. Di sini katanya berguna untuk mengusir gangguan setan pada wanita hamil. Benar yang ini?" Aku menunjuk gambar di katalog.

Kamila tersenyum. "Tidak salah lagi. Tolong disiapkan, Adam.

"Sayangnya saya belum tahu ditaruh di mana benda itu oleh Pak Taka. Besok Anda datang kembali lagi ke sini. Nanti saya tanyakan dulu ke beliau. Kalau ditelpon sekarang takutnya Pak Taka marah karena toko belum ditutup. Tinggalkan saja nomor hp-mu." Sebetulnya aku membuat alasan. Aku tahu letak benda itu disembunyikan. Tapi aku mau Kamila datang lagi  ke sini esok hari. Dengan begitu, aku dapat mengenalnya lebih jauh.

Kamila mengambil pena di meja. Menulis delapan digit angka di lembar pertama novel Pembalasan Ibu Setan. Kuku di jari-jarinya yang lentik tampak terawat dan mengilap berkat cat warna gelap.

"Panggil aku kalau mangkuknya sudah ada."

"Pasti. Mau saya antar ke depan Mbak?" Aku menawarkan diri.

"Kamila atau Mila. Tolong jangan panggil lagi Mbak."

"Maksud saya Kamila. Apa mau ditemani ke depan?"

"Tidak perlu, Adam. Aku bisa sendiri."

Aku menggaruk kepala sebab malu. "Saya pikir Anda takut."

"Tiada yang menakutkan daripada dirimu."

"Maksudnya? Sumpah saya tak ada niat buruk."

"Maksudku aku takut istrimu datang ke sini tiba-tiba dan melihat kita berjalan berdua."

"Eva tidak mungkin datang ke sini. Dia sedang hamil dan malas menggerakkan kaki."

Tiba-tiba Kamila tersenyum ganjil. "Kalau mau kau boleh menemaniku ke kafe malam ini. Itu kalau kau tak ada jadwal."

"Ada ... tidak," kataku sambil menggeleng bersemangat. "Aku tidak punya jadwal malam ini."

"Aku tunggu kau di luar."

"Kususul segera setelah mematikan lampu."

Itulah kisah pertemuan pertamaku dengan Kamila Liliana Arumbi. Dari percakapan malam itu, kami akhirnya sering bertemu. Kamila sering meminta ditemani pergi sore-sore sekadar duduk-duduk di kafe. Selama kami kenal ia bercerita sekilas tentang dirinya. Kamila ternyata sudah bersuami, tetapi hubungannya dengan sang suami tidak berjalan harmonis. Kamila bekerja sebagai manajer pemasaran di perusahaan keuangan, sementara suaminya hanya pegawai negeri sipil di kantor kabupaten. Kamila bercerita mulanya hubungan mereka baik-baik saja meski belum ada momongan, sampai suatu hari suaminya tiba-tiba meminta Kamila mengundurkan diri. Lelaki itu menyalahkan Kamila karena di umur pernikahan yang sudah berjalan nyaris delapan tahun, tetapi mereka tak jua dikaruniai bayi. Sudah barang tentu Kamila menolak permintaan gila suaminya itu. Namun keluarga suaminya mendesak dan memaksa Kamila terus-terusan agar mengundurkan diri, hingga puncaknya Kamila lelah dan kabur dari rumah. Ia membeli rumah di pinggiran kota dan hidup seorang diri di sana. Jujur aku kasihan kepada Kamila. Di balik kecantikan wajahnya, ia menyimpan masa lalu sedemikian pahitnya.

Sejak itu sepulang kerja aku selalu menyempatkan diri menemani Kamila sekadar minum kopi di kafe. Atau hanya duduk-duduk mengobrol di toko sampai malam. Aku merahasiakan kedekatan kami baik dari Pak Taka maupun Eva. Aku hanya berdalih pada istriku bahwa akhir-akhir ini penjualan kami sepi akibatnya aku harus berjaga toko sampai malam. Eva sama sekali tidak curiga dengan alasanku. Kupikir karena ia disibukkan dengan kegiatannya bersama ibu-ibu komunitas memasak dan kandungannya yang makin membesar.

"Adam," kata Kamila dengan mata berair sehabis bercerita kesusahan-kesusahaan pernikahannya. Aku menyeka air mata di pipinya. "Maukah kau membantuku?"

"Membantumu? Membantu dalam hal apa?"

"Kau tidak mungkin mau." Kamila berpaling.

"Katakan saja. Mungkin aku bisa."

"Boleh aku memelukmu? Sudah lama aku lupa bagaimana rasanya dipeluk lelaki. Tapi jika kau keberatan tidak apa."

"Lakukan saja kalau itu membuatmu lebih baik." Walau aku pasti tidak merasa baik. Aku akan tenggelam dalam fantasi liarku jika sekali saja ia menyentuh kulitku. Aku sudah lama menahan diriku dari debaran yang meledak-ledak meminta dipuaskan. Hawa nafsuku bergejolak dan aku merasa malu setelah ingat banyak dosa selama ini kulakukan. Aku terbuang dari keluarga gara-gara nafsuku. Aku tak mau menjadi binatang buas yang bertindak tak beradab pada perempuan malang ini pula. Aku tahu dia tak berniat buruk, tapi niatkulah yang hina. Ya Bunda Maria, Bunda Para Pembela dan Penolong, aku berlindung di bawah perlindungan-Mu yang lembut. Dalam kekuatan doa Rosario dan doa-doaku, lindungilah diriku dari jangkauan setan dan kuasanya. Bantu aku untuk selalu setia dan teguh dalam iman kepada Yesus, Putra-Mu yang terkasih. Bantulah aku menjaga harga diri perempuan ini dari nafsuku yang lapar.

"Kau melamun?" tanya Kamila yang kini berdiri menungguku merengkuhnya.

"Mari kita lakukan dengan nyaman," aku merentangkan tanganku pada Kamila sembari memejamkan mata. Bagai keajaiban jantungku yang semula berderap dan darahku mengalir deras mendadak melemah seakan doa singkat itu memecut hawa nafsu yang tengah menguasai diriku. Namun, wangi yang tercium dari rambut Kamila mengaburkan segenap pikiranku. Pelukan kami hanya sekian detik berlangsung. Sebelum Kamila mengaduh karena tonjolan di atas dadaku menusuk ke bawah lehernya.

"Benda apa itu? Sakit sekali," Kamila langsung melepaskan dekapan tubuhku, membuatku nyaris terduduk.

"Apa?" tanyaku keheranan. Kubuka kancing atas kemejaku. "Ini kalung rosario dari ibuku. Maaf kalau ini mengenaimu."

"Oh! Ada-ada saja. Kau masih pakai benda-benda begitu di zaman semodern sekarang."

"Kenapa tidak? Buktinya toko ini masih laku. Kau bahkan cari mangkuk mantra di sini."

"Itu kan untuk Mama. Ya sudah lupakan. Aku akan pulang. Dah, Adam."

"Cepat sekali?"

"Besok aku akan ke sini lagi. Aku ada janji dengan seseorang pukul delapan."

"Pelukan yang singkat."

"Kalau mau lama, pastikan tidak ada yang mengganggu kita lagi seperti tadi. Aku kira kau menaruh pisau di dadamu."

Ya, pisau itu perasaanku yang menggebu-gebu padamu, Kamila. Kapan kau menyadari bahwa aku ingin lebih daripada mengobrol dan duduk-duduk belaka. Aku ingin lebih jauh ... lebih ... astaga lagi-lagi aku dikuasai hawa nafsuku yang biadab ini. Setan akan tertawa-tawa jika aku jatuh dalam kubangan dosa. Aku tak mau menodai hubunganku dengan Eva. Ya Yesus Kristus, Sang Sanggup Segala Sesuatu, aku berserah di hadapan-Mu dan menyerahkan diriku kepada-Mu. Permuliakanlah jiwaku dengan kehadiran-Mu yang suci dan kemuliaan-Mu yang tak terbatas. Bantulah aku untuk menghormati tubuhku sebagai tempat kediaman Roh Kudus dan untuk menjaga keintiman hanya dalam ikatan pernikahan yang sah. Aku merapal doa malam itu. Di luar toko terdengar anjing melolong-lolong dan deru angin bertiup deras sampai-sampai menggetarkan pintu dan jendela toko. Pikiranku terasa kalut. Perasaanku mendadak menjadi tidak enak. Entah, rasanya hal buruk seperti akan terjadi.

***

Sekitar seminggu lebih Kamila tak menandangi toko. Aku kehilangan semangat. Terasa seperti ada yang hilang. Tanggal dari tubuhku. Pelukan malam itu seolah tak berbekas lenyap dibawanya pergi. Ya, ia pergi. Ia lesap diculik malam membawa separuh jiwaku. Pak Taka yang awas mulai memperhatikan gelagat anehku
Ia mencoba menyelidiki dengan rentetan pertanyaan. Tapi aku enggan menceritakan kisahku padanya. Selain ia akan tahu bahwa aku sudah sering melanggar aturannya, bukan tidak mungkin dia jatuh cinta pula pada Kamila. Meskipun Kamila mustahil dapat kumiliki sebab istriku, ah, Eva ... ah, wanita cerewet itu, aku pikir bahwa aku lama-lama jemu hidup bersamanya. Ia selalu menuntut banyak hal dariku. Setiap malam mengeluhkan penderitaannya menjadi ibu rumah tangga.  Dia pengeluh. Perutuk. Banyak mau. Sepulang dari ibadah Minggu Eva mengoceh pada bibinya yang tak sengaja berpapasan di jalan, mengadu tentang betapa tidak becusnya diriku sebagai suami, betapa kurang perhatianku akhir-akhir ini padanya. Padahal, aku selalu mencukupi setiap kebutuhan yang dia perlukan, dan, bahkan aku rela berangkat pagi-pagi buta mencari belimbing demi permintaan ngidamnya yang tak bisa ditunda itu.

Seandainya aku menikah dengan Kamila. Hidupku tentu berubah. Aku tidak mungkin bernasib seburuk ini. Mengenai segala pencapaiannnya, aku jamin tak akan merasa rendah diri, dan justru aku merasa bangga memiliki istri dengan karier yang bagus. Aku bahagia karena dengan begitu tekanan nafkah di bahuku dapat berkurang. Namun angan-angan sebatas angan-angan. Sebentar lagi aku dan Eva akan memiliki anak. Aku jadi seorang ayah.    Tidak ada yang lebih mengkhawatirkan jadi seorang ayah. Tekanan yang akan kupikul bakal kian besar. Dan Eva makin menyiksa batin dengan keluhan bibirnya yang terus mengumbar kekurangan diriku. Bisakah aku melewati pasang surut hidup sampai aku mati menua? Kamila, Kamila, tolong selamatkan aku! Aku harap kita bertemu di kehidupan lain. Mungkin. Atau sekarang.

***

Bermalam-malam aku merindukan Kamila. Aku bermimpi kami bertemu. Kami berpelukan. Lebih daripada pelukan. Kami bersetubuh. Persetubuhan yang ganas. Yang lapar dan liar. Membuatku lupa dengan janji dan doaku pada Sang Kudus. Membuatku sering terjaga tengah malam dengan keringat bercucuran di pelipis seperti aku sudah maraton berhari-hari. Setiap aku membuka mata, aku berharap di sampingku ada Kamila yang menjangkau tanganku dan membiarkan telapak tanganku yang kasar meraba pipinya yang halus. Tetapi pil pahit yang harus kutelan adalah kenyataan wajah Eva yang menyambutku tiap bangkit dari pejam. Entah makin lama Eva makin mengesalkan hatiku. Aku membenci tiap-tiap inci tubuhnya. Rambut yang tidak terawat. Bau keringat yang memualkan. Dan kerut merut juga jerawat bertabur di pipi.

"Kamila," erangku. Suatu malam aku terbangun dengan kondisi tidak nyaman. Rasanya badanku remuk. Ngilu. Dingin. Aku menggigil di bawah selimut. Seolah malam ini terjadi hujan salju.

"Kamila? Siapa? Kau mengigau, Mas," Eva ikut terbangun mendengar teriakanku. Dia duduk dan menekan keningku dengan jarinya. "Kau demam?"

Aku menggeleng. "Bukan apa-apa. Aku baik-baik saja. Tidurlah." Langsung kujauhkan telapak tangan besarnya yang kasar. Aku  membalik badanku agar membelakanginya.

Pikiranku semrawut. Kacau-balau. Aku cemas. Kurasa Kamila sudah kembali pada pelukan suaminya. Keluarganya membaik. Dia bahagia. Puas dengan kehidupannya yang sempurna. Memikirkan semua itu memupuskan harapanku. Aku menyesal melepaskan Kamila malam itu. Alangkah bodohnya aku tidak cepat-cepat mengikrarkan perasaanku padanya.  Sekarang aku terserang rindu yang meradang. Rindu yang minta dituntaskan.

***

Suatu hari, sekian minggu sejak Kamila pergi, Pak Taka memanggilku ke ruangannya. Tatapannya masih kosong. Tapi suaranya terdengar dalam dan menekan memberikan sinyal bahwa ia hendak menyampaikan masalah besar.

"Adam, kamu ingat dua pesan saya sewaktu kamu baru kerja di sini?"

"Ingat, Pak. Jelas saya selalu ingat."

"Tapi kau langgar salah satu," Pak Taka mengangkat gembok yang rusak. "Adam, bukankah saya sudah ingatkan ini padamu, kan? Kamu tak mendengarkan larangan saya sama sekali."

"Anu, Pak. Soal lantai tiga itu ... eee ... sebulan yang lalu ada suara teriakan dari dalam sana. Saya syok dan naik ke atas. Saya khawatir ada yang terjebak," ucapku terpaksa mengakui kesalahanku. Malam itu aku ketiduran di lantai dua. Lalu peristiwa aneh terjadi. Terdengar jeritan memilukan dari lantai tiga. Maka aku lari dan mendobrak pintu itu buru-buru. Namun sesampainya di sana aku tak menemukan apa pun selain ruangan kosong yang digelayuti sawang dan dihuni tikus-tikus gemuk. Itu kejadian yang sudah lama sekali. Bahkan aku sudah membuang gembok itu jauh-jauh dan menggantinya dengan gembok baru yang rupanya persis.

"Kamu tahu tahu sendiri hanya kita berdua di tempat ini."

"Pak Taka maafkan atas kelancangan saya. Tapi saya bersumpah. Saya tidak masuk. Saya hanya berdiri di ambang pintu." Aku berbohong demi membela diri. Malam itu aku masuk ke dalam sana. Aku menemukan sebuah toples berisi abu. Tiada barang lain di sana, selain toples memuat abu itu.

"Lupakan saja. Mulai hari kamu bukan lagi karyawan saya," balas Pak Taka tak acuh. Aku membeku dalam ketidakmengertianku. Memang aku tak mengelak bahwa aku bersalah melanggar perintahnya. Tetapi ... bukankah pelanggaranku akan aturan itu sama sekali tak merugikan dia sama sekali? Penjualan kami tetap berjalan normal.

"Pak, saya janji tidak akan naik lagi ke sana. Tolong jangan pecat saya. Istri saya sebentar lagi akan melahirkan. Saya butuh biaya. Saya mohon."

"Maafkanlah, Adam. Tapi kamu harus menjauhi toko ini sebelum semuanya terlambat."

Kau tak perlu membayangkan bagaimana kacaunya diriku dengan pemutusan kerja sepihak hari itu. Bahkan belum setahun aku menetap di sana. Perasaanku jelas sangat sebal dan jengkel sekali pada keputusan Pak Taka yang tergesa-gesa. Kesalahanku rasanya dibesar-besarkan oleh Pak Taka. Meskipun aku sendiri heran dengan gelagatnya sewaktu memanggilku ke ruangannya. Dari sikapnya aku merasa bahwa ia seolah-olah tengah mencemaskan keadaanku. Di sisi lain ia memecatku tanpa membiarkanku membela diri. Membingungkan sekali! Ia jadi seperti seorang malaikat dengan jubah iblis. Memang kata orang terkadang niat baik tidak ditunjukkan dengan cara-cara baik. Dan sebaiknya hal-hal baik dapat menyembunyikan niat licik dan keji. Dari penekanan suaranya dan wajahnya yang simpati, dalam lubuk hatiku mengatakan bahwa ia melakukan tindakan itu barangkali terpaksa lantaran berniat menolongku. Tapi aku yang buta juga tuli tak mengerti pertolongan apa yang hendak diberikannya. Dan juga lantaran aku telah dikuasai amarahku aku muak padanya. Setan seakan berbisik keras di telingaku kalau yang patut kugarisbawahi jika Pak Taka sudah mencampakkanku tanpa belas kasih ke kehidupan lamaku. Membuatku kembali jadi penggangguran yang tak berguna. Tidak ada perbuatan paling keparat daripada melemparkan harapan orang lain ke jurang keputusasaan.

Dengar, Yoseph, sekarang aku akan melompat ke peristiwa tidak lama setelah hari pemecatan mendadak itu. Pak Taka suatu sore meneleponku. Ia memintaku bertemu di kafe beberapa kilometer dari toko kami. Aku menolak permintaannya secara halus. Itu terjadi berkali-kali. Selang dua-tiga hari ia mengulangi. Namun, setiap kali ia menelepon, aku membuat-buat alasan supaya aku kelihatan sibuk. Aku juga bersyukur selama bekerja dengannya tak pernah kuberikan alamatku atau identitasku sehingga ia tak dapat menemukan kontrakanku. Lagi pula, aku tidak perlu repot-repot menemuinya dan ditemuinya. Aku kadung kesal dengan pemutusan kerja yang kejam dia lakukan. Bagiku ia kilasan masa lalu yang sangat benci untuk dibahas.

Sementara itu, Kamila kembali hadir kedalam hidupku. Suatu hari ia tiba-tiba mengirimkan pesan agar kami bertemu. "Di tempat biasa dan jam biasa," bunyi pesannya pendek, tapi aku cepat menangkap maksud isi pesan itu. Aku langsung bergegas tempat yang dia tulis di pesan. Tanpa sepengetahuan Eva (aku membohonginya dengan mengaku mendapat pekerjaan jaga malam di pabrik) aku diam-diam menemui Kamila. Penampilan Kamila sedikit berubah dari terakhir kali yang kuingat. Entah kenapa ia tampak lebih kurus daripada saat kami terakhir kali berjumpa. Bibirnya pucat pasi seperti kehilangan banyak darah. Dan di bawah matanya tampak cekung, menandakan ia sudah melalui malam-malam yang berat.

Kamila kali ini menggunakan terusan hitam  sesuai kebiasaannya, namun dengan wajah tanpa riasan mencolok. Anehnya, pesona kecantikannya tidak luntur sama sekali. Dia makin enak dipandang dan membuatku gerah tak tahan ingin mendekapnya. Memuaskan rinduku yang beku. Aku menjabat tangannya yang halus dan lembut, kemudian mencium tangannya yang memperlihatkan barisan jemari kurus dengan kuku-kuku yang panjang dan dicat hitam kelam. Di mataku, ia jadi seperti ibu peri sekaligus penyihir. Wajahnya cantik dan sikapnya sangat anggun memikatku sehingga aku melupakan bagaimana kontrasnya penampilannya itu.

Lima menit awal kami hanya saling bertatapan. Aku ingin merajuk padanya. Aku ingin menunjukkan kesedihanku sewaktu ditinggalkannya. Ia datang seperti angin dan pergi bagaikan hantu. Sekehendak hati. Mengobral janji pada lelaki baik-baik. Membiarkan lelaki menunggu tanpa kepastian. Namun, di menit-menit selanjutnya, mata yang tadinya tampak tegar menatapku, kini runtuh, melemah. Ia mencair. Menangis terisak-isak di hadapanku.

Kamila bercerita selama satu bulan terakhir ternyata ia mengalami hari-hari yang pedih. Suaminya yang gemar bermain dengan gadis-gadis itu berhasil membujuknya kembali pulang  ke rumah dengan rayuan madu, janji-janji berbisa, dan permohonan maaf penuh dusta. Kamila terlena dan tenggelam dalam kemunafikan jantan hina itu. Dia tak mengira bahwa semua itu tak lebih daripada upaya sang suami ingin menguasai Kamila. Dia serakah. Dia ingin bercinta dengan banyak wanita. Tapi tak ingin kehilangan istri pertama. Maka ia membuat skenario penjebakan pada Kamila.

Tetapi aku heran dengan Kamila. Sebagaimana ceritanya yang pernah ia utarakan kepadaku, seingatku suami banditnya itu sudah pernah melakukan penipuan berkedok insyaf. Bahkan seekor babi hutan tak akan mengulangi jalan yang dilaluinya jika pernah terperosok ke dalam jebakan manusia yang nyaris membuatnya dipanggang hidup-hidup, tetapi Kamila dengan lugunya memberi kesempatan kepada pria biadab itu bermain-main dengan hidupnya. Aku kasihan ia dikuasai cintanya yang bodoh.

"Kukira Mas Ilham akan berubah. Tapi perubahannya ternyata hanyalah tipuan. Ia mengulangi tabiat lamanya," cerita Kamila di depan gelas kopi yang masih belum ia sentuh setelah berjam-jam berlalu.

"Aku baru sadar sekarang," ucapnya lagi sembari matanya yang indah menumbuk mataku, "Kasih yang tulus itu berbeda. Mencintai seseorang membuat kita jadi bodoh. Benar katamu, lebih baik dicintai daripada mencintai seseorang."

Aku terpana mendengar ucapannya dan melihat tatapan matanya padaku. Takjub hatiku menyadari Kamila akhirnya sadar isi hatiku yang lama kusembunyikan padanya. Dulu sengaja kusimpan dalam-dalam karena takut berdosa. Sekarang lupakan dosa! Dosa tak lagi kupedulikan. Karena pernikahan pertamaku pun sudah dosa. Jadi apa yang kuharapkan di dunia selain neraka?

"Kau mau malam ini temani aku? Aku takut kalau-kalau Mas Ilham datang menggangguku," ia memelas. Ditangkupkannya kedua tangannya seperti akan bermeditasi, memohon.

"Aku mau."

Sangat. Mau.

***

Lalu aku menyetirkan Kamila pulang ke rumahnya. Setelah berkilo-kilometer kami menyusuri jalan tengah kota, ia seketika memintaku melaju meninggalkan jalan besar itu, lantas melewati jalan di tengah-tengah kuburan, lalu berbelok masuk ke jalan aspal yang berkerikil dan kasar. Kami masuk ke daerah sunyi. Sepanjang kanan-kiri jalan sedikit sekali berdiri bangunan. Kalaupun ada hanya pondok-pondok kecil yang tidak ada penerangan sedikit pun. Tempat ini terpencil namun masih masuk wilayah kota kami. Di jalan, dengan gugup aku sesekali menoleh ke arah Kamila, takut-takut karena terlalu fokus mengemudi, aku jadi tidak sadar sudah semobil dengan hantu. Ini konyol. Tapi dalam majalah yang pernah kubaca seorang sopir taksi tak sadar penumpangnya berubah jadi kuntilanak. Mana mungkin Kamila begitu. Jelas-jelas dia manusia. Tak ada kuntilanak seindah ini. Fantasiku terlalu absurd sampai-sampai jadi kurang waras.

Kami memasuki jalanan hutan yang rimbun dan mencekam. Pohon-pohon di pinggir jalan di bawah sinar bulan seperti monster tinggi-tinggi yang bersiap menghadang kami. Kamila tidak bicara sepatah kata pun selama di perjalanan. Dan it menambah ngeri di pikiranku. Tapi aku menghapus ketakutanku dengan mengingat ketidakrasionalan di kepalaku.

Kupikir ia tengah merenungkan masalah hidupnya jadi wajar ia begitu.

Tak disangka-sangka seekor babi gemuk berlari melintas dan menubruk mobil yang kukemudikan. Binatang itu terlompat dan terguling menimpa kaca depan mobil kami, sebelum akhirnya ia jatuh terpelanting ke pinggir aspal. Suara rem berdecit bersamaan lengkingan binatang itu membuatku gemetar dan gugup setengah mati. Biarkanlah, hanya babi, kata Kamila dengan suara yang biasa-biasa saja. Ayo kita lewati sebelum babi-babi lain membalas dendam pada kita, katanya menakutiku. Aku langsung menginjak pedal gas, memacu kendaraan, berdoa bahwa itu bukan pertanda buruk. Tuhan Yesus jagalah aku, malam itu aku tiba-tiba berdoa. Sementara Kamila senyap menatap lurus jalanan yang lenggang.

***

Kami akhirnya berhenti di depan sebuah rumah besar yang dikeliling pagar tembok yang tinggi menjulang seakan hendak menopang langit. Rumah bertingkat itu bagaikan puri angker jika dilihat di bawah terang bulan purnama. Catnya serba putih sewarna kain kafan yang digunakan untuk membungkus orang sebelum dikubur dalam tanah. Rumah itu dua lantai dengan banyak sekali jendela. Aku menengok ke arah jendela di kamar atas. Entah kenapa, ketika aku baru saja turun dari mobil, mataku langsung tertarik mengecek jendela itu, seolah ada seseorang mengawasiku dari situ. Pintu kayu besar dengan ukiran yang indah pun langsung menyambut kami. Kamila tersenyum nakal menggodaku. Lalu ia mengeluarkan kunci dari dalam tasnya. Membuka pintunya.

Jadi kami hanya berdua di sini. Artinya aku tadi salah lihat.

Aku mengikuti langkah Kamila. Di dalam tak banyak lampu dinyalakan. Ruangan seluas itu hanya menyediakan pencahayaan minim. Temaram. Aku duduk menggelimpangkan punggungku di sofa merah di ruang tamu yang lebar itu. Banyak sekali perabotan dan hiasan antik dipajang di lemari. Lukisan perempuan berbadan setengah ular mengunyah apel terpampang besar di dinding. Aku merinding sesaat melihat lukisan itu. Kamila tiba dari dapur membawakanku botol berisi air putih dan gelas kaca.

"Minumlah, kau pasti lelah mengantarku ke sini," ucapnya dengan suara yang lebih bertenaga. Tadinya Kamila kelihatan lemah lesu. Bicaranya juga singkat-singkat.

"Jadi kau tinggal sendiri di sini?" aku menyelidiki.

"Ya, begitulah. Ini rumah ibuku. Dia baru saja meninggal sebulan yang lalu."

"Aku turut berduka. Kau pasti kesepian di sini."

"Soal itu tak usah kau tanya Adam. Aku kesepian sekali. Andai saja aku punya suami yang baik mungkin aku tak perlu tinggal di sini seorang diri."

Aku mengangguk membenarkan ucapannya sekaligus menunjukkan caraku bersimpati. Pada saat itu, aku jadi bimbang melaksanakan niatku ingin mengajaknya bercinta, sebab Kamila akan berpikir bahwa aku sebelas dua belas dengan suaminya. Jangan sampai merusak kesan manis yang sudah kubangun sejak lama. Aku ingin kelihatan jantan, tapi tidak murahan.

"Adam," katanya dengan suara yang memikat. "Mau kau menghiburku malam ini."

"Dengan cara apa pun. Aku datang ke sini memang untukmu."

"Tapi benar kau mau melakukannya? Maksudku, kau punya istri di rumah. Aku tak ingin kau jadi bertengkar gara-gara aku."

"Katakan saja. Aku akan membantumu."

Kamila melepas ikat rambutnya. Membiarkan rambunya tergerai melampaui bahunya. Gerak kepalanya membuat untaian rambut hitam itu menari-nari seperti tarian ular yang menghipnotisku dan memanggilku aga menyerahkan apa saja yang kumiliku padanya.

"Marilah jadi pengantin untuk semalam."

***

Kamila memintaku mengenakan setelan hitam milik suaminya lengkap dengan dasi kupu-kupu dan ikat pinggang kulit. Sementara itu, ia masuk ke dalam kamar lebih dahulu dan saat muncul kembali, gaun pengantin putih susu dengan renda yang manis telah membalut tubuhnya yang langsing. Ia bagaikan putri dalam negeri dongeng. Aku terhenyak melihat perubahan yang terjadi pada Kamila. Jika sebelumnya aku berpikir ia cantik, maka kali ini aku menganggap kecantikannya berlipat-lipat dibandingkan semula. Ia menyanggul rambutnya dan membiarkan dadanya yang putih setengah terlihat.

Kamila memintaku berdiri di depannya. Matanya menyorotku dari ujung kepala sampai mata kaki. Ia kemudian mengambil sisir dari laci sebuah lemari di ruang depan. "Ini perlu dirapikan," ujarnya sambil menyisir rambutku dengan penuh perhatian. Sementara aku gugup berhadapan sedekat ini dengannya. Wangi tubuhnya menghanyutkan pikiranku yang kotor. Aku malu karena aku tengah berpikir menjijikkan sekali tentangnya.

Malam ini aku benar-benar merasa jadi pengantin pria yang beruntung sebab mendapatkan istri molek. Kamila menarik tanganku agar berjalan mengikutinya masuk ke dalam kamar. Dikuncinya pintu kamar dan dipadamkannya bola lampu kuning yang benderang. Gelap sebentar. Lalu jarinya yang lentik menekan sakelar di dinding lain yang sontak menyalakan bola kecil merah tepat di atas kepalaku. Seketika cahaya merah redup menyebar di segala penjuru. Pikiranku terbius sekaligus resah dengan penglihatan yang ganjil. Aku merasa melihat genangan darah di mana-mana. Namun aku tersadar ketika Kamila memasang piringan hitam pada gramofon di atas nakasnya. Lagu "Anyone Who Knows What love Is (Will Undertstand)"-nya Irma Thomas mengalun lembut menemani kami. Malam ini serasa romantis. Intim. Dan membangkitkan gelora yang tersembunyi.

Lalu didudukannya aku di kursi yang sudah siapkan. "Aku akan mengikat tangan dan kakimu," kata Kamila. Aku menyetujui saja keinginannya itu. Kalau orang lain yang meminta hal demikian aku pasti meninju mukanya atas keinginan yang tidak wajar. Tapi karena Kamila, aku membiarkan ia berbuat apa saja padaku. Jika aku berpikir hendak menolaknya, aku seperti penjahat dan pria bejat yang mau menyakiti perempuan lemah.

Setelah ia mengikat kaki-tanganku, aku sekarang tak berdaya di kursi menunggu detik-detik yang akan segera terjadi. Darahku mengalir deras ke satu bagian bawah tubuh. Aku harap-harap cemas kejutan apa yang hendak diberikan Kamila padaku. Aku suka permainan kawin-kawinan ini. Mungkin dengan cara ini dosaku sedikit berkurang sebab dalam percumbuan kami bukan aku yang mengendalikan permainan, melainkan Kamila. Namun itu sama dengan aku senang diperkosa. Tidak! Laki-laki tak bisa diperkosa. Lagi pula Kamila melakukan persetubuhan atas izinku.

Kamila membawakan dasi panjang. "Aku akan tutup matamu," ucapnya genit.

"Untuk apa?" tanyaku tak setuju, tapi Kamila tetap saja memasangkan dasi itu menutupi mataku. Sekarang gelap total. Aku tak melihat apa pun. Mendadak aku jadi ingin mengakhiri permainan ini. Mengapa mataku harus ditutup? Aku tidak suka bercinta dalam gelap. Apa enaknya bercumbu dalam kegelapan? Aku dibutakan, sedangkan Kamila leluasa dapat melihat diriku. Ini tidak adil.

Kamila pun duduk di pangkuanku. Tubuhku menghangat. Tangannya bergerak menjangkau leherku. Aku merasa embusan napasnya di bawah daguku. Lalu ia meraba dadaku. Membuat detak jantungku bergerak dengan cepat. Di momen-momen paling krusial dan menentukan itu tiba-tiba wanita itu memekik. Ia meloncat dari pahaku. Aku mendengar napasnya menderu deras seolah ia baru saja disengat jutaan serangga.

"Kau baik-baik saja?" tanyaku khawatir.

"Hmm, ya, aku baik-baik saja," balas Kamila lemah. Ia melepaskan tali pengikat tangan dan kakiku. Aku membuka sendiri ikatan yang menyelubungi mataku. Kulihat Kamila sudah duduk di tepi ranjangnya dengan mata merah. Pipinya basah karena tangis. Mungkin ia teringat dengan suaminya.

"Permainan sudah berakhir," katanya sambil mematikan gramofon. Ia bicara tanpa menatap mukaku.

"Kupikir kita belum mulai?"

"Tidak, Adam. Aku tahu batasanku. Kita sudah selesai. Sekarang kau gantilah pakaianmu dan mandilah kalau perlu."

"Aku akan cuci muka dan langsung tidur."

"Terserah kamu. Oh ya kamarmu di dekat ruang tamu."

***

Aku tidak dapat tidur. Aku terngiang-ngiang dengan pekik Kamila yang ketakutan. Mengapa dia mendadak jadi kehilangan minat padaku tadi? Aku bertanya-tanya bimbang. Kucek arloji di tanganku: Sekarang pukul 00:05. Tengah malam. Orang bilang ini waktu bagi setan berkeliaran mencari mangsa. Sial aku tak dapat tidur di kamar pengap ini. Kelambunya berdebu dan spreinya beraroma busuk. Sangat busuk hingga menusuk-nusuk lubang hidungku. Aku bangkit. Berjalan ke jendela yang menghadap ke arah gerbang. Mungkin melihat panorama di luar rumah dari lantai atas cukup menyenangkan. Tapi yang kutemukan hanyalah kegelitaan yang mencekam. Bahkan jalanan yang kulewati sebelumnya tak dapat dilihat lagi dari sini. Tadinya sewaktu aku sampai, bulan purnama masih terang di langit, tetapi kupikir raksasa kegelapan telah menelannya dengan tamak. Menyisakan kilatan-kilatan yang tajam nan jahat di angkasa. Aku mengigil. Suasana di kamar ini sunyi sekali. Di tengah lamunan, aku terkejut mendapati seekor kelelawar berkitar-kitar masuk ke dalam kamar. Sialan! Rumah ini seperti gedung terbengkalai saja. Mana sanggup aku tidur dalam keadaan seperti ini.

Aku pindah ke sofa di ruang tengah. Belum beberapa menit lelap leherku tiba-tiba gatal-gatal. Kulepaskan rosario yang melingkar di leherku. Mungkin kalung salib itu menyebabkan alergiku kumat.

***

Esok harinya aku terbangun dalam keadaan lemas sekali. Badanku terasa ringkih. Pandanganku berkunang-kunang. Jantungku berdetak kencang. Semalam aku bermimpi buruk. Dalam mimpiku, aku dikejar oleh makhluk-makhluk buas dan ganas berwajah mengerikan. Mereka mengejarku hingga aku terperangkap dalam bangunan tak berujung pangkal. Di sana aku melihat ibuku menangis. Kemudian darah mengucur dari matanya. Ia berbisik, "Jangan pergi Adam! Jaga Ibu di sini." Setelahnya aku mendengar suara Nenek sayup-sayup. Ia berucap agar aku lari meninggalkan wanita itu. "Dia bukan ibumu. Pergi! Keluarlah sebelum terlambat!" Sebelum aku mencapai pintu keluar. Aku terbangun di sofa dengan keadaan yang setengah telanjang. Entah aku lupa atau apa, kulihat kemeja flanel dan celana panjangku sudah terkulai di lantai. Kini aku cuma mengenakan celana bokser saja. Buru-buru aku memasang kembali pakaianku. Saat itu Kamila datang membawakanku roti dan secangkir teh. Ia tampak segar bugar. Wajahnya tak semuram seperti semalam.

"Bagaimana tidurmu?"

"Aku mimpi buruk," jawabku jujur.

"Maafkanlah aku tidak menyediakan tempat yang nyaman buatmu. Malam ini kau boleh tidur di kamarku."

"Tidak, Kamila. Hari ini aku harus pulang. Istriku nanti cemas menungguku."

"Aku mengerti, Adam. Aku paham kau cemas. Tapi bagaimana kau bisa pulang? Mobilku mogok dan orang bengkel baru akan datang dua hari lagi."

"Kalau begitu aku naik kendaraan yang lewat saja."

"Silakan saja kalau ada. Tapi kau lihat sendiri bagaimana sepinya tempat ini."

"Ponselku juga tak ada sinyal. Payah sekali di sini!"

"Tenanglah, Adam. Dua hari itu singkat. Sementara ini kau temani aku saja di sini. Nah, sarapanmu sudah kusiapkan. Mandilah setelah itu kau boleh berjalan-jalan melihat-lihat sekitar rumahku."

***

Setelah mandi, pikiranku agak segar bugar daripada sebelumnya. Aku mengikuti saran Kamila supaya berkeliling melihat-lihat lingkungan di sekitar rumahnya. Segera aku mengincar taman di samping rumah Kamila. Di sana kelihatan rindang. Terhalang dari sinar matahari pagi berkat lebatnya pohon kihujan dan cemara yang berdiri bersebelahan. Di bawahnya sederet pacar air sedang berbunga, beraneka warna, dan sesekali dihinggapi kupu-kupu yang tergoda pada warnanya yang amat mencolok.

Aku duduk di kursi batu. Menghirup udara pagi yang sungguh menenangkan jiwa raga. Tadinya kupikir adalah hal buruk jika aku berlama-lama di tempat ini. Tetapi setelah duduk diam selama beberapa menit, aku merasa kedamaian datang dengan cepat merasukiku. Dan, sepertinya bukan ide buruk juga bila menginap beberapa hari di tempat ini. Di sini keheningan dapat menghiburku dari beban pikiran karena berbohong pada istriku terus-terusan. Eva tidak tahu kalau aku sudah menganggur, maka demi menutupi rahasia itu, aku biasanya berbohong dengan pergi dari rumah pura-pura masih bekerja di toko. Padahal, sebenarnya aku hanya duduk-duduk di trotoar. Atau pergi memancing ke kolam pemancingan tak jauh dari rumah kami. Tetapi aku cemas juga memikirkan keadaan Eva saat itu. Bagaimana kalau dia panik dengan perginya diriku secara mendadak? Apa yang akan dia lakukan bila aku tak ada kabar selama beberapa hari?

Kemudian Kamila datang menyusulku yang sedang melamun di taman. Ia keluar dengan menggunakan payung. Aneh sekali, padahal cuaca sebagus ini. Ia kemudian mengatakan baru saja ada panggilan masuk di ponselku. Aneh, pikirku saat itu. Bukannya tadi tak ada sama sekali jaringan. Tapi Kamila menjawab dengan nada yang meyakinkan bahwa di sini jaringan sering kali hilang, tapi bukan berarti tidak ada.

"Lalu sempat kau angkat panggilannya?"

"Ya. Aku bilang kalau kau diajak keluar kota oleh atasanmu dan ponselmu ketinggalan di rumah bos."

"Lantas istriku percaya."

"Awalnya tidak. Ia terus mencercaku dengan banyak pertanyaan. Tapi aku Kamila. Aku sudah terbiasa menghadapi situasi seperti itu. Lama-lama istrimu percaya dan mau mematikan telponnya. Sekarang kau lega, kan?"

"Baguslah. Aku berterima kasih padamu. Kalau tidak, aku akan kesulitan mengarang cerita bohong padanya."

"Ya, Adam. Bukan masalah. Kau suami yang baik. Aku tahu itu. Ngomong-ngomong kau tampak nyaman di sini?"

"Udaranya segar sekali. Ditambah lagi langitnya biru sekali. Lihatlah."

"Kau benar. Tempat ini adalah surga bagiku. Sebab itulah, walau sudah banyak orang meninggalkan daerah sini, aku tetap mempertahankan rumah keluargaku ini."

"Mengapa orang-orang pindah ya?"

"Karena akses ke tempat ini susah dan hanya satu jalur. Tidak ada jalan tembus. Dulu pernah ada, tapi sejak jembatan di atas sungai roboh, akhirnya menyisakan satu jalan saja."

"Aku mengerti sekarang," kataku, "pantas kau bilang tak ada mobil yang akan lewat jalan sekitar ini."

Kamila tersenyum. Dengan sorot matanya yang menggoda, ia mengerling.

"Malam ini mau tidak kau bermain peran lagi?"

"Jadi pengantin pria?"

"Tidak. Kali ini kita bermain yang lebih seru."

"Kamila," aku langsung memotong bicaranya karena tak mau berlama-lama dengan kebohonganku. "Aku ingin bercinta denganmu. Yang nyata."

"Kau kecewa karena yang terjadi semalam? Tenang, kali ini aku berjanji kita akan serius. Aku akan memberimu hadiah istimewa. Asalkan kau mau mengabulkan permintaanku terlebih dahulu."

"Katakan kau mau aku melakukan apa."

"Ini pekerjaan mudah. Kau akan lihat nanti."

***
Letih berjalan-jalan, aku berhenti di bekas pohon yang sudah roboh. Aku duduk di situ entah berapa lama. Tadinya aku berpamitan akan keluar sebentar, tapi karena kesembronanku, aku lupa jalur yang kulewati sebelumnya. Aku tersesat di hutan yang tidak kuketahui batasnya. Kupikir hutan di belakang rumah Kamila tidak seluas ini, jadi aku membiarkan diriku terbuai dengan kedamaiannya. Kini aku risau, langit hampir menggelap di atas sana. Aku tak membawa penerangan sama sekali. Tidak terbayangkan seandainya sebelum malam aku belum menemukan jalan keluar, aku akan terjebak di hutan gelap dan lebat ini. Aku takut membayangkan ular-ular besar yang bersiap membelit dan memangsaku bulat-bulat, atau seekor harimau, kudengar masih ada harimau di hutan-hutan di daerah ini, mana mungkin aku sanggup melewatkan semalaman di rimba belantara   asing ini.

Aku bangkit, bersusah-payah melangkah melangkahi kayu-kayu dan menerabas semak-semak setinggi dada. Tanganku terasa gatal dan telingaku mulai berhalusinasi mendengar sayup-sayup suara-suara halus seakan memanggil namaku. Hutan tidak lagi hening. Kini kicauan burung petang dan suara laung kera menggema dipantulkan pepohonan.  Angin bertiup ganas membuat dahan-dahan kayu besar berderak-derak, membuatku makin waswas. Kamila tak tahu bahwa aku berada di tempat ini. Dia pasti mengira aku sedang melarikan diri dari rumahnya. Dia mungkin akan membenciku setelahnya. Aku dilanda cemas. Ini pertama kalinya aku tersesat di hutan.

Tuhan bantu aku, keluarkan aku dari tempat ini, doaku. Tak lama kemudian aku mendengarkan letupan tembakan. Tembakan dari sebuah senapan burung. Aku berteriak meminta tolong, berharap si penembak itu mendengar suaraku.

"Kaukah yang berteriak?" tanya seorang lelaki berjenggot muncul dari semak. Di tangannya sebuah senapan tergenggam. Dia datang karena mendengar teriakanku.

"Ya, benar! Puji Tuhan Anda datang. Saya tersesat. Tolong bantu saya keluar, Pak."

Ia mengarahkan senjatanya ke arah mukaku. "Mundur!" ancamnya. Aku menurut walau kebingungan mengapa ia menodongku dengan senjatanya.

"Apa ... yang ... mau Anda lakukan?" tanyaku tergagap.

"Angkat tanganmu!" ancamnya lagi. Ia kali ini makin mendekatkan senjatanya di depan wajahku. Aku mati kutu. Pria itu memeriksa leherku. Lalu mengecek pergelangan tanganku.

"Siapa namamu?"

"Adam."

"Apa yang kau lakukan di tempat ini sendirian?"

Kuceritakan bagaimana kronologi aku kesasar di hutan itu. Mendengar ceritaku ia mengangguk, lalu seperti menunjukkan ekspresi bergidik.  Dicengkamnya bahuku erat-erat, lalu berkata, "Kau harus pergi denganku sekarang. Kau harus pulang sebelum segalanya terlambat. Ayo, ikuti aku!"

"Aku belum menemui Kamila. Dia akan khawatir kalau aku tak mengabarinya."

Lelaki tua itu mendengus. "Beruntung Bapa masih menolongmu. Lupakan itu! Kau ikut aku sebelum malam tiba. Aku tak bawa banyak persenjataan."

***
Di tengah perjalanan kami, aku merasakan sensasi aneh di tubuhku. Aku seperti tak bisa mengontrol diriku. Jariku mengeras. Wajahku mengeras. Mulutku tak bisa kubuka. Pria itu sesekali memperhatikanku selagi ia mengemudi dengan panik.

"Kau harus kendalikan dirimu. Jangan biarkan dia menguasaimu," katanya tegang.

Aku tidak mengerti siapa yang hendak menguasaiku. Yang sekarang kualami justru sejak mengikutinya, aku menjadi seperti orang lumpuh. Pria itu terus membuatku tersadar di saat aku hampir saja memejamkan mata. Rasanya aku telah ditekan berjuta-juta beban. Aku kesulitan mengontrol seluruh anggota badanku.

"Iblis itu menginginkanmu. Jiwamu sudah dalam pengaruhnya. Karena itu kau sudah ia taruh dalam rumahnya. Kalau kau tak berusaha melawan kau akan jadi budaknya selamanya!"

Dalam perasaan yang amat tercekam, aku berusaha keras menggerakkan jemariku. Dingin malam masuk dari lubang jendela samping membuatku seketika menggigil dan membeku. Betapapun sulit, akhirnya aku dapat mengatur napasku dan menggerakkan pelan-pelan badanku.

"Iblis tak akan membiarkanmu bebas. Aku tahu itu. Semoga Bapa melindungi kita. Aku tak ingin dia mengambil jiwa manusia lagi."

"An ... da ta .. hu ib ... lis itu ...." aku terbata-bata kesulitan menyelesaikan kalimatku.

"Sangat! Aku sangat mengenalnya dengan baik! Dan dia sangat membenciku. Tapi selama di bawah perlindungan Bapa, iblis terkutuk itu tak akan mampu menyentuhku. Dengar, Nak, kalau dia tak mengambil nyawa putraku, mungkin aku tak akan pernah tahu ada iblis betina yang sudah hidup jutaan tahun di hutan itu. Dia bukan iblis biasa. Bukan iblis yang mudah dikalahkan. Aku sudah sepuluh tahun lebih mengincarnya. Melakukan segala upaya untuk menghancurkan entitas jahat itu! Tuhan telah melaknat dia sejak diciptakan sebab itu aku akan berperang melawannya."

"Awas!!" pekikku ketika melihat seseorang berdiri di tengah-tengah jalan. Mobil kami mengerem mendadak. Pria tua itu terdiam sejenak. Ia menoleh wajahku sebelum menarik koplingnya kembali. Kali ini ia siap menginjak gas dan mengincar orang yang tengah berdiri di depan kami itu.

"Matilah kau iblis keparat!" soraknya bersiap menabrak.

"Ib .. lis? Dia temanku Kamila."

"Kau belum sadar juga rupanya. Orang itu bukan Kamila atau siapa pun yang kau kenal. Itu Lilith! Setan betina paling jalang yang menjijikkan! Anjing itu harus kita basmi! Persetan!"

Namun belum sempat pria tua itu melaju, mendadak ia mematung. Kemudian matanya membelalak, lidahnya menjulur keluar, dan tangannya mencekik lehernya sendiri. Aku yang dilanda ketakutan berupaya menolongnya membebaskan diri dari tangannya yang kian kuat mencekik. Pria itu megap-megap sesak. Sementara Kamila yang berdiri di depan mobil kami tengah mengulurkan tangannya seolah dia memanggilku untuk mendekatinya. Saat itu aku baru memahami apa yang dikatakan lelaki tua itu bahwa perempuan itu bukanlah Kamila. Dia setan. Selama ini ia benar-benar menipuku.

"Tuhan tolong aku," kataku berdoa dalam keadaan panik menyelamatkan lelaki tua yang telah membantuku.

Pada saat itu Kamila menyeringai buas ke arah kami. Wajah Kamila yang jelita sekarang berubah menjadi wajah monster seram yang mengerikan. Dari kepalanya tanduk memanjang keluar. Dan dari balik punggungnya mencuat sayap lebar dan hitam pekat dengan banyak duri.

"Iblis!" jeritku ketakutan. "Kau iblis! Pergilah! Aku tak sudi menjadi budakmu!"

"Adam," panggilnya.

"Lepaskan dia iblis keparat!"

Pada saat itu aku tak menyadari pria tua itu berhasil melepaskan cengkeraman tangannya. Dengan cepat ia mengendalikan napasnya, lalu menekan pedal gas dan langsung menubruk Kamila. Di keheningan malam terdengar dentam hantaman yang sangat keras. Kecemasanku semakin hebat.

"Apa dia mati?" tanyaku gugup.

"Dia tak akan mati walau aku menabraknya seratus kali. Yang terpenting aku harus membawamu pulang dan melepaskan kau dari kutukannya."

***

Kejadiannya tak kutambah-tambah dan kukurang-kurangi. Sekembali dari tempat itu, aku mendapat kabar kalau Eva tengah dirawat di rumah sakit. Aku langsung meminta bantuan Pak Edward (lelaki tua baik hati itu) mengantarku ke sana. Betapa syoknya aku begitu mendengar kabar dari Eva kalau bayi kami sudah meninggal. Dokter yang mengurusnya menyebut bayi kami sudah tiada sejak sebulan dalam kandungan. Tapi menurut Eva, ia sangat yakin kalau bayi kami benar-benar masih ada bahkan sehari sebelum ia dilarikan ke rumah sakit. Eva mengatakan malam sebelum peristiwa ia mengalami pendarahan hebat, seorang perempuan datang menemuinya. Perempuan itu mengaku tengah mengandung bayiku dan meminta Eva agar mau menceraikanku. Namun Eva yang sangat mencintaiku dan memercayaiku menolak untuk percaya. Ia mengusir perempuan hamil itu dan tak lama setelahnya ia merasakan mulas tak tertahankan.

Pak Edward menduga kalau itu pekerjaan Lilith. Dia sengaja menghasut Eva agar mau meninggalkanku. Lilith pula menurutnya yang telah membunuh anak kami. Sebab kekuatannya memang akan bertambah berlipat-lipat jika ia bisa mengisap jiwa bayi yang belum menyentuh sehelai kain. Kata Pak Edward kematian bayi-bayi di dunia tak lepas dari peran Lilith yang hendak membalas dendam pada anak-anak Adam. Bayi-bayi tanpa dosa itu adalah sumber energi utamanya. Yang membuatnya makin cantik dan mudah menipu daya lelaki. Sementara pria-pria yang sudah dikuasainya akan ia hancurkan jiwanya pelan-pelan.

"Kau harus membebaskan dirimu dari kutukannya. Kalau tidak ia akan banyak mengambil korban dari keluargamu. Istrimu sekarang sudah tidak aman. Aku yakin Lilith pasti akan membunuhnya juga cepat atau lambat!"

"Tolong aku, Pak Edward. Aku tidak ingin Eva menderita karena perbuatanku."

"Hanya ada satu cara," ucapnya. "Kau harus menghancurkan sumber kekuatannya di kota ini. Kau ingin tahu kenapa Lilith bisa hidup di banyak tempat dalam satu waktu sekaligus? Itu karena dia punya banyak medium di setiap tempat. Kamila, perempuan yang kau kenal itu adalah salah satu mediumnya. Tetapi medium saja belum cukup membuat Lilith bangkit. Ia disokong oleh para sekte penyembahnya. Para anggota sekte inilah yang menyiapkan mangsa untuk tuannya. Kau, sialnya, sudah disiapkan oleh salah seorang anggota sekte untuk ditumbalkan."

"Jadi aku memang sudah diintai?"

Ia mengangguk. "Ya. Kau pernah masuk perangkap mereka. Anggota sekte ini licik. Mereka akan menjebakmu dan membuatmu seolah-olah masuk sendiri ke dalamnya. Kalau kau mau mengalahkan Lilith di sini maka kau harus menghancurkan gereja sekte mereka."

"Di mana gereja sekte itu berada?"

"Itulah masalahnya. Aku tidak tahu di mana. Aku sulit menemukan gereja sekte mereka karena bangunan ini menyaru dengan bangunan lainnya. Orang bahkan tak akan sadar jika itu rumah berhala Lilith kalau hanya melihat tampilan luarnya saja. Tapi kau tahu cara mencarinya. Tempat itu sudah pasti pernah kau datangi makanya kau dalam pengaruh jahat iblis terkutuk itu."

"Aku? Aku belum pernah masuk ke tempat semacam itu. Aku hanya bolak-balik rumah dan toko barang antik setiap hari. Apa ini ada kaitannya dengan indekos yang aku dan Eva sewa?"

"Kurasa itu tidak mungkin. Karena kau sudah bertahun-tahun tinggal di sana sebelumnya. Kapan dan di mana kau bertemu Kamila pertama kali?"

"Sebulan yang lalu di toko barang antik, tempatku bekerja dengan Pak Tan," aku menjelaskan. Di sanalah aku dan Kamila saling mengenal.

"Di mana tempat itu Adam? Kita harus ke sana sekarang!"

"Sekarang juga?"

"Harus. Malam ini bulan purnama, para pengikut Lilith akan berkumpul di satu tempat. Kita akan membunuh mereka semua!"

Aku tak setuju ide itu. Aku memang ingin mengalahkan Lilith, tapi aku belum gila untuk menghabisi nyawa orang lain.

"Kenapa? Kau gentar? Kau ingin membiarkan kau dan istrimu mati dibunuh Lilith?"

Aku menggeleng. "Tidak, tapi haruskah kita menghabisi nyawa orang juga? Ini sudah terlalu jauh, Pak Edward."

Pak Edward langsung menampar pipiku. Aku mengaduh. Kemudian ia mulai berkata, "Ini belum ada apa-apanya dengan dampak yang diberikan para biadab-biadab sesat itu saat mereka menumbalkan anak manusia tak berdosa demi keabadian mereka. Mereka itu seharusnya sudah lama mati, Adam. Tak ada manusia yang berumur lebih 200 tahun. Aku sangat yakin para anggota sekte bahkan sudah berusia setengah abad! Mereka itu tidak mati karena diberi kekuatan oleh Lilith. Jika energi Lilith kita hancurkan, mereka pasti kembali ke bentuk asal mereka. Sebagai mayat! Mereka itu mayat yang diberi jiwa. Apa kau paham?"

"Apa yang akan kita lakukan?"

"Kita akan bakar mereka hidup-hidup. Lilith kebal dari api, tapi manusia tidak. Mereka bakal hangus lalu diikuti dengan kematian Lilith."

"Tapi dengan kau menjelaskan ini artinya Lilith sudah tahu rencana kita?"

"Meskipun tahu ia tak akan bisa melakukan apa-apa. Kau ingat waktu aku menubruknya kemarin malam? Di depan nomor mobil aku sudah menaruh serbuk mangkuk mantra. Lilith terkunci dengan benda itu."

"Mangkuk mantra? Kamila pernah membelinya dariku waktu di toko."

Pak Edward tertawa. "Itulah liciknya dia. Dia mengujimu kalau kau punya benda mistik itu atau tidak. Jika tidak, kau pasti menjual barang di toko, yang sebenarnya mangkuk mantra tiruan. Jika kau punya kau pasti menjual barangmu sendiri dan artinya kau itu bahaya baginya. Kita harus berangkat sekarang. Ini sudah pukul delapan. Jam sebelas malam menurut situs negara luar yang pernah kubaca, mereka akan mengadakan ritual ibadat."

"Aku akan pamit dulu pada Eva. Dia pasti mengkhawatirkanku kalau tahu aku meninggalkannya."

"Sebaiknya lakukan dengan cepat. Kau punya jeriken kosong di rumah? Kita butuh banyak jeriken untuk perang malam ini!"

***
Malam saat kami sampai di dekat toko, belum terlihat sama sekali ada orang atau kendaraan berhenti di sana. Pintu toko masih tertutup. Mula-mula aku meragukan ucapan Pak Edward. Tetapi sebelum aku buka mulut, ia langsung memberiku kode melekatkan telunjuk ke dekat bibir, segera aku paham bahwa di tempat itu sudah ada para anggota sekte. Dari jendela lantai dua, tempat biasanya aku mengintip, tampak seorang perempuan dengan gaun hitam membuang beberapa batang lilin. Selanjutnya Pak Taka dengan setelan rapi, ia ada pula di sana, datang memeluk pinggul perempuan itu dengan mesra. Kemudian mereka berciuman. Mereka seolah bersuka cita merayakan penumbalanku dan kematian bayiku. Sekarang aku tahu mengapa Pak Edward sangat ingin membunuh mereka. Mereka bajingan keji yang menjijikkan. Pantas saja sudah banyak pegawai toko ini mati! Pria itu sebenarnya menjual nyawa karyawan-karyawannya demi keabadian dan kekayaannya. Aku hampir mau berteriak menantang dia berkelahi kalau saja Pak Edward tak mencengkeram bahuku.

"Jangan gegabah, Dam. Ini masih lama. Mereka sedang lengah berpesta sekarang ini. Kalau mereka melihat kau masih hidup, mereka akan berpikir kalau rencana mereka sudah gagal. Sekarang mereka senang sebab mengira tuan mereka telah dipenuhi laparnya, padahal tuan mereka masih kelaparan. Kau mau tahu bahaya jika Lilith kelaparan? Ia akan marah dan memangsa anggota pria sekte itu sendiri. Lilith itu ratu hawa nafsu. Nafsunya ganas dan tak bisa ditahan-tahan," bisik Pak Edward. Kami bersembunyi di balik dinding seberang toko. Meskipun begitu, Pak Edward memintaku berhati-hati karena anggota sekte bisa muncul tiba-tiba. Karena jam ibadat masih lama, mereka masih ada kemungkinan berkeliaran dulu.

Setelah tiga jam kami duduk mengintai, barulah lampu toko itu tampak sudah digelapkan. Ritual tengah berjalan, bisik Pak Edward. Itu waktu yang tepat untuk memindahkan jeriken-jeriken bensin dari mobil.

Kami pun bersusah-payah mengangkut jeriken dan menuangnya ke dinding toko. Namun, di tengah-tengah kami tengah menyiramkan isi jeriken. Tiba-tiba pintu toko bergeser. Pak Taka keluar dari toko dan terkejut melihat keberadaaanku.

"Adam! Mau apa kamu dengan benda itu?" hardiknya. "Kamu mau bakar toko saya?"

Aku tergemap. Bingung hendak bereaksi seperti apa. Tak kusangka akan tertangkap basah semudah ini. Namun Pak Edward langsung melemparkan jeriken di tangannya tepat ke dada Pak Taka. Pria itu jatuh terduduk dan bergerak ingin bangkit berdiri. Saat itu aku seperti kesetanan langsung menendang kepalanya dengan keras. Aku mengambil batu yang tergeletak di dekatku dan segera menghantamkannya ke kepalanya. Pria itu belum juga mati. Kakinya masih bergerak-gerak.  Kebencianku pun kian meradang. Kuhantamkan batu itu hingga kepala lelaki itu remuk tak berbentuk. Dan baru berhenti saat tanganku mulai pegal. Namun secara ajaib kepalanya dan wajahnya kembali lagi utuh. Sebaik sebelumnya. Ia tersenyum jahat padaku. "Hanya itu yang bisa kau lakukan?"

Ia lantas mencekik leherku dengan kencang. Aku berupaya memberontak, tetapi cengkamnya amat kuat. Wajah yang dingin itu menikmati proses membunuhku. Tapi aku tak berhenti meninju tubuhnya sekuat yang aku bisa. Sedangkan Pak Edward ada di belakangku berusaha menyelamatkanku. Ia lalu mengeluarkan pisau dari sakunya. Ditusuknya perut monster itu hingga pegangannya melemah dan melepaskan leherku. Namun tak seperti sebelumnya, luka di perut monster itu benar berhasil melukainya. Monster itu tidak bergerak lagi. Dagingnya meleleh dan berubah menjadi lendir merah yang merembes dari setelan. Tersisa di depan kami tengkorak dengan otak membusuk di yang terang saja membuatku muntah-muntah.

"Aku sudah menaburkan pecahan mangkuk mantra di atas pisau ini," kata Pak Edward dengan bangga. Ia mengambil korek api dan menggeseknya. Sebelum melemparkan lidi yang menyala, ia berkata, "Sekarang waktunya kita selesaikan mereka."

"Pak Edward awas di belakang!" jeritku saat wanita bergaun sekonyong-konyongnya datang dan langsung menikam dadanya dengan tombak. Aku mati rasa tatkala menyaksikan mata tombak berdarah menembus dadanya. Darah kental mengucur dari mulutnya. "La ... ri," ucapnya.

Saat itu aku berlari sekencang dan sekuat tenaga yang aku mampu. Toko itu langsung disambar api begitu lidi korek di tangan Pak Edward terjatuh. Secepat kilat api memberangus bawah gedung. Perempuan bergaun hitam bahkan tak sempat menyelamatkan diri. Ia melolong-lolong pilu begitu sekujur tubuhnya dilahap api bengis. Aku terus berlari, berlari, lari sampai aku tak melihat lagi asap membumbung di gedung itu.

Esoknya berita kebakaran toko muncul di koran. Dikatakan dalam artikel itu kalau gedung tampaknya diduga sengaja dibakar oleh pria yang jasadnya belum teridentifikasi identitasnya. Ada dua puluh sembilan orang mati, dua puluh tujuh di antaranya tewas terpanggang karena tak sempat meloloskan diri. Mereka terjebak di lantai tiga gedung sementara api menjalar dari lantai bawah.

Dalam pada itu, aku menyembunyikan semua yang terjadi dari Eva. Ia sama sekali tak tahu peristiwa malam itu masih berkaitan denganku. Sebenarnya, biarpun tahu, Eva tengah berduka sekali. Ia lebih banyak diam daripada sebelumnya dan suka menyendiri saja di dalam kamar. Waktu aku datang menyusulnya ke kamar berharap kami dapat saling berbagi masalah, ia sebaliknya buru-buru tidur dan memeluk guling ke arah berlawanan denganku. Aku tahu kalau Eva tengah menghindariku. Kalaupun ada ia membuka mulut, ia bicara sehemat-hematnya dan hal yang dianggap penting-penting saja menurut ukurannya, yang menurutku justru segalanya itu tidak begitu penting dibicarakan ketimbang isi kepalanya sendiri. Aku mengenali jika di balik kata-kata tidak penting itu ia banyak memendam kekecewaan terhadapku. Ia mungkin diam-diam menyalahkanku karena tidak ada di sampingnya dalam detik-detik menyakitkan itu.

Tapi kesalahanku tak sekecil itu. Rasa bersalahku lebih besar daripada yang bisa dia bayangkan. Aku hampir tak merasa benar-benar bisa terlelap setiap malamnya apabila menyadari bahwa akar masalah semua ini bermula dariku. Meskipun Pak Edward pernah meyakinkanku kalau situasinya aku dijebak. Hanya jebakan tidak membunuh bila aku tak dirasuki hawa nafsu serakah. Begitulah, Yoseph. Aku merasa cemas setiap waktu. Dan tiap-tiap aku memejamkan mata, aku melihat dia masih berdiri mengawasiku.

Eki Saputra
Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Related Posts

Posting Komentar

Popular

  • Surel
    M enurutmu hal seperti apa yang paling dibenci oleh seorang youtuber-tutorial-memasak sepertiku s…
  • Gugatan Perempuan Malam
    Dia gentayangan bebas di malam hari. Ketika malam purnama tiba, ia mulai membalas dendam pada anak …
  • Menunggu
    Tik. Arloji di tanganku bersuara. Jarum pendeknya bergerak pelan tapi pasti, berbarengan putaran ja…
  • Hantu Air
    Demoniac clouds, up-pil’d in chasmy reach Of soundless heav’n, smother’d the brooding night;  Nor c…
  • Catatan Ringan (2): Tentang Kebencian di Media Sosial
    "Fenomena ini cukup mengerikan sih. Bayangkan jika Anda (penulis) tak sengaja melakukan sesuat…
  • Drama Gerbong Kereta
    I Aku mengamati besi tua di hadapanku, setua diriku, kata istriku yang selalu menuntut ini itu. Ber…