Laporkan Penyalahgunaan

Tags

Recent Posts

Recent Comments

Nature

Facebook

Popular Posts

Mujur Sepanjang Hari, Malang Sekejap Mata

Pria itu mengikatkan sarung di lehernya. Ia berdiri di hadapan hamparan laut yang gulita. Apa yang akan kukatakan nanti, pikirnya. Sepuluh tahun bukan waktu yang sedikit. Sepuluh tahun bila kau menanam rambutan atau mangga, kau sudah pasti bangga memetiknya. Tetapi bagaimana kalau sepuluh tahun itu yang ditanamkan bukanlah buah, melainkan duka dan kemarahan. Dan meskipun mereka bukanlah sebangsa tanaman, tetapi tumbuh dan kembangnya berkali-kali lipat lebih pesat dan liar. Apa yang bisa kujelaskan kepada mereka, masih waraskah aku bila berharap mereka sudah hilang ingatan, jahatkah aku jika berdoa mereka sudah menghapuskan aku dari kehidupan mereka, ia terus bertanya-tanya sendirian dalam bibir terkatup. Suara di dalam tempurung kepalanya menggaung bak kumbang tanduk menuntut kepastian. Tak ada jalan keluar masuk akal. Atau maaf. Ia tahu tak elok bila dirinya mengharapkan sesuatu yang mustahil. Sekalipun pengharapan tetap dibutuhkan dalam situasi sepahit mana pun. Baginya kata maaf sudah binasa sejak ia memutuskan pergi tanpa pamit pada perempuan itu. Tetapi apa mau dikata? Apa yang bisa diperbuat orang sepertinya? Demikianlah ini jalan yang terbaik yang harus ia tempuh, setidaknya, menurut hati kecilnya yang berusaha mencari pembenaran. Walau itu sebatas pembelaan diri, tapi ia sungguh-sungguh beranggapan tindakannya di masa lampau benar-benar mulia. Semata-mata ia tak mau menularkan kesusahan kepada gadis baik-baik itu. Ia orang baik. Bapak-ibunya baik. Saudara-saudaranya pun tak kalah baik. Maka aku inilah yang jahat, ratapnya. Sebagai orang jahat, aku lebih pantas menjalani kehidupan pengembaraan ini dengan siksaan penyesalan dan rasa bersalah.

Lama-kelamaan ia merasa mengigil terpuruk dalam omong kosong batin. Sarung yang semula ia gantungkan di leher, kini ia lingkupkan ke tubuhnya. Ia meniti geladak pinggiran kapal yang lompong dengan pikiran yang ribut. Melayang-layang jiwanya melangkah tanpa tujuan bagaikan hantu penunggu laut yang tersesat di kapal asing. Ia berkeliling menuntaskan perkara pertentangan suara hati selagi kapal tunak membelah lautan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan, ucapnya mencoba lagi menenangkan. Kemudian ia menjatuhkan punggungnya di kursi besi yang menghadap ke haluan kapal. Rupanya sudah ada beberapa lelaki duduk melamun duluan di situ. Apakah mereka lebih gundah daripada aku, ia bertanya membandingkan diri seperti kebiasaannya yang selalu mengira ia yang paling menderita.

Di bawah keremangan lampu yang seadanya itu ia tak dapat memastikan jawaban atas pertanyaannya itu. Hanya satu hal yang paling jelas dilihatnya bahwa cuma ada laki-laki di tempat ini. Laki-laki selalu merenung dan merenung. Mereka membuang-buang waktu melamunkan dosa-dosa mereka tanpa pernah bisa menerima segala konsekuensi atas tindakan mereka.

Photo by Scott Evans on Unsplash

Ketika ia memejamkan mata, bayangan wajah Laksmi menyala lembut membikin hatinya terenyuh. Jantungnya berdetap, dadanya nyeri, bila teringat betapa banyak ia membualkan janji palsu pada perempuan lugu itu. Kesalahanku adalah kesalahan. Kesalahan bagaikan utang yang tak pernah dapat dilunasi, kecuali diikhlaskan oleh si pemberi pinjaman. Aku pembohong, penipu, bedebah, licik, dan pembunuh, ia mengutuk dirinya sendiri seperti kebiasaan di hari-hari ia menjadi dirinya yang lemah. Tapi kalau dia sedang berpura-pura kuat, ia akan mengatakan sebaliknya, "Kalau saja aku punya pilihan, kalau saja ... pokoknya yang kulakukan sudah tepat. Semua demi kebaikan bersama. Demi Laksmi."
 
Hanya ia dan Tuhan yang tahu kebenaran yang terjadi di malam sepuluh tahun yang lalu. Saat itu hujan baru saja berhenti. Hanya menyisakan rinai-rinai yang mengguyuri kaca depan mobil. Ia sudah minum kopi hangat sebelum mengemudikan Si Gerandong: truk tua yang belum dipensiunkan meski nyaris reyot. Jalanan pukul sebelas malam sedang lenggang sehingga ia percaya diri mengebut. Ia yakin malam itu tak mengantuk. Lagi pula tidak ada tanda-tanda kedatangan kendaraan lain dari arah depannya. Sama sekali tiada firasat atau mimpi buruk bahwa malam itu kiamat kecil akan menyentuh kehidupannya. Dalam pikirannya, ia mabuk gembira karena kurang dalam seminggu ia akan memulai babak hidupnya yang baru bersama Laksmi. Laksmi Prawita, gadis yang sudah menunggunya selama enam tahun terakhir. Mereka pacaran sejak kelas satu SMA dan berjanji akan sehidup semati dalam kencan yang keseratus kali. Namun, hanya sekedipan tiba-tiba motor datang melaju terburu-buru, merusak impian yang sudah lama dirancang untuk dibangun. Umpama lalat, motor itu datang begitu saja menubrukkan diri tanpa sempat sang sopir membanting setir. Ia bahkan belum sampai menginjak rem ketika kepala orang itu remuk terjepit ban si Gerandong. Semua terjadi kurang dari beberapa detik. Mustahil buatnya mengelak. Demikianlah, biar mujur berjalan sepanjang hari, tiba malang sekejap mata, habislah cerita.

Waktu membeku sejenak pada awalnya. Ia masih turun dari mobil berniat mengumpulkan tulang kening dan rahang yang terserak di aspal berdarah; membawa mayat itu ke rumah sakit sebelum menyerahkan diri kepada polisi. Tetapi ia gemetar menyaksikan cahaya bergerak dari jauh mendekat ke arahnya. Jika ia melanjutkan niat baiknya maka belum tentu ia masuk penjara dalam keadaan hidup-hidup. Melihat wajah korban ditabrak sudah sedemikian hancur masihkah orang lain dapat menahan gejolak ingin menghukum dirinya? Maka ia mundur perlahan-lahan. Tanpa memedulikan mayat itu, ia naik kembali ke truk dan mengebut hingga tak kelihatan lagi titik putih di belakangnya. Dan saat itu, ia memutuskan membawa Gerandong ke tempat yang sejauh-jauhnya. Ia akan bersembunyi sampai situasi meredam. Sesudah itu, ia dengan sukarela akan menyerahkan diri kepada polisi. Ia yakin Laksmi dapat memahami kejadian yang menimpanya. Semua ini tak dikehendaki. Apalagi direncanakan. Ini terjadi di luar kuasanya. Andai mungkin waktu dapat diputar, ia akan memilih mati dengan menjatuhkan mobilnya ke pinggir jurang ketimbang membiarkan pemotor itu tewas tergilas.

Namun siapa sangka bahwa orang yang ia tabrak semalam ternyata adiknya Laksmi. Apa yang bisa dia katakan pada Laksmi? Sementara Laksmi bermalam-malam nyaris menangis darah dan mengutuki orang yang tega menabrak lari satu-satunya saudara yang ia miliki. Ia tak dapat berbuat banyak selain menghibur dan turut menyerapahi pelakunya yang tak lain dirinya sendiri. Ia kehilangan keberanian menghadap polisi demi mengakui semua kejahatan tak disengaja yang ia lakukan pada malam itu. Hukuman penjara memang menakutkan, tapi dibandingkan semua itu hukuman dibenci Laksmi dan keluarganya akan lebih menyakitkan dan mengerikan dari semuanya. Entah alasan apa pun yang dikatakan, semua itu akan terdengar sia-sia di telinga mereka karena tak ubahnya menjadi pembelaan diri seorang pengecut. Maka jalan yang ia pilih begitu hina. Ia membatalkan pernikahan dengan Laksmi lewat persekongkolan jahat. Ia menjebak Laksmi pada pria yang memang mengincar gadis itu sedari lama. Dengan tuduhan palsu, ia bisa pergi melepaskan Laksmi tanpa membuat gadis itu mampu mencegahnya terjadi.

"Pak, kata Ibu masuk ke dalam saja. Ibu mau minta gantian gendong Bisma. Ibu mual," panggil seorang gadis kecil tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya. Ia tak memperhatikan sejak kapan anak itu datang.

"Ibumu mabuk lagi?"

Anak itu mengangguk. "Cepatlah!" ucapnya lalu berlari mendahului ayahnya. Pada saat itu, suasana kembali tenang. Pria dengan kain terbungkus di badan menengadah ke langit sebelum berjalan menyusul putrinya masuk. Lamunannya tentang Laksmi sudah buyar dibawa anak kecil itu pergi. Dalam hatinya terpikir seandainya ia dan Laksmi menikah, mungkin putrinya yang cantik itu tidak akan ada hari ini. Hari ini tidak akan terjadi. Biarlah yang berlalu dilupakan dan tak usah dikenang kembali, bisiknya sebelum pergi.

Ditayangkan pertama kali di Medium. 

Eki Saputra
Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.
Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar

Popular

  • Surel
    M enurutmu hal seperti apa yang paling dibenci oleh seorang youtuber-tutorial-memasak sepertiku s…
  • Gugatan Perempuan Malam
    Dia gentayangan bebas di malam hari. Ketika malam purnama tiba, ia mulai membalas dendam pada anak …
  • Menunggu
    Tik. Arloji di tanganku bersuara. Jarum pendeknya bergerak pelan tapi pasti, berbarengan putaran ja…
  • Hantu Air
    Demoniac clouds, up-pil’d in chasmy reach Of soundless heav’n, smother’d the brooding night;  Nor c…
  • Catatan Ringan (2): Tentang Kebencian di Media Sosial
    "Fenomena ini cukup mengerikan sih. Bayangkan jika Anda (penulis) tak sengaja melakukan sesuat…
  • Drama Gerbong Kereta
    I Aku mengamati besi tua di hadapanku, setua diriku, kata istriku yang selalu menuntut ini itu. Ber…