Apakah sastra milik sekelompok orang atau golongan?
Dahulu saya pernah menganggap bahwa sastra adalah ruang dengan banyak kemungkinan. Sastra membuka ruang pembicaraan baru tanpa mencoba menutup pojok lama dengan paksa. Sastra tidak sekolot sikap rezim yang sibuk membakar dan merazia buku-buku yang mereka anggap berseberangan. Sastra adalah tempat di mana musuh dan kawan bisa saling bertemu dalam satu panggung tanpa takut dipukul dan diinjak. Sastra membuka banyak mulut manusia tanpa mencoba membungkam yang lainnya.![]() |
| Ilustrasi oleh Pixabay. |
Mungkin saya terlalu tenggelam dalam pikiran utopis dan idealis yang saya damba. Mungkin hari ini saya mulai khawatir jika anggapan saya segera dibunuh oleh kenyataan pahit. Benarkah sastra kita ternyata elitis, kerdil, dan eksklusif? Entahlah, saya merasakan hal itu dan suasana itu di tiap-tiap kesempatan yang berbeda.
Kegandrungan pada suatu isu dan tema bukanlah masalah berarti. Itu kelaziman dan lumrah toh untuk setiap acara, bahkan pensi anak sekolah pun punya tema khususnya. Tetapi 'kepicikan' dan 'sempitnya' cara pandang kita terhadap wilayah yang tidak sejalur dengan tema tak seharusnya ditampilkan dalam ungkapan yang kurang peka dan kurang humanis. Bolehlah meninjau dari sudut pandang a, b, c atau mengkritisi subtansi yang dimaksud dengan acuan, orang-orang toh akan siap mendengar semua itu, tetapi terlalu banyak mengedepankan olok-olok kosong juga tidak berguna. Itu kontras sekali dengan tujuan yang katanya hendak dicapai karya sastra. Seolah-olah kegiatan itu cuma usaha mengumpulkan orang-orang satu kepala, satu partai, dalam kampanye pemilihan kepala daerah (di mana tidak ada yang mau mendengar suara lawan, suara pendukung lawan, apalagi visi-misi lawan). Sementara 'karya sastra' dikatakan ingin meneroka jalur-jalur baru yang selama ini tertutup semak-semak dan kekayuan. Untuk bisa membuka wilayah baru, bukankah tetap perlu bagi kita menghargai ekosistem lama sebelum menggusurnya sampai ke akar-akar? Atau bisakah kita meneroka tanpa membabat sepenuh pohon-pohon rindang yang mungkin masih berguna?
Inilah ironi dari misi keberagaman. Kita ingin merubuhkan menara kotak presisi, menjadikannya bangunan-bangunan kecil yang punya bentuk beraneka ragam. Keinginan merobohkan menara itu semestinya tak menjadikan tindak serampangan sebagai cara-cara etis. Kita benci kepada pengembang menara super mewah itu yang memaksa rumah-rumah kumuh di bawahnya digusur dengan paksa dan cara kotor. Mengapa kita mengulangi cara-cara mereka? Mengapa kita berlaku seperti mereka?
Saya mencintai misi mengedepankan keberagaman, kemanusiaan, kesetaraan, dan perdamaian (yang tanpa pandang bulu). Saya mencintai usaha-usaha manusia yang terus mengajak sesama untuk terus peduli serta menghargai perbedaan, menghargai lingkungan, dan menghargai nilai-nilai luhur yang mereka anut. Namun, meskipun begitu, saya tak menjadikan sikap dan pandangan saya untuk selalu menolak sikap dan pandangan orang lain membabi buta. Saya bergerak dalam koridor saya sendiri. Sikap dan pandangan saya sejatinya benar bagi saya, dan begitu pula yang orang lain pikirkan terhadap sikap dan pandangan mereka. Kata kuncinya masih sama: menghargai. Bagaimanapun, kita untuk bisa dihargai, utamanya dahulukanlah menghargai.
Saya bukan siapa-siapa. Kapasitas saya membicarakan ini hanyalah seorang penulis ingusan yang gelisah dengan isi pikiran sendiri yang kompleks. Saya setuju kepada nilai-nilai yang dibawa sastra (sejalan dengan prinsip saya), saya sepakat pada proyeksi yang dicita-citakan sastrawan lewat karya-karya mereka, saya setuju, bahkan, kepada kritik terhadap kehidupan yang digaungkan karya mereka itu. Tetapi saya menolak sastra menutup jalur-jalurnya berlandasan misi 'satu aliran' bengawan. Sastra sejatinya ruang riuh dan bebas bersuara. Ruang yang tidak membesarkan satu toa dan menyumpal toa orang lain. Siapa pun berhak membicarakan diri mereka dan berhak mengobarkan geliat dalam diri mereka untuk berkarya. Mau kau seorang konservatif, liberal, jelata, hina, dsb. Sastra sesungguhnya adalah milik kita semua.
Pun karya sastra tidak selayaknya dipatok dari sampul luarnya saja. Karya sastra terlepas dari pandangan si pengarang, adalah ruang ambiguitas. Seorang antipatriarki, misalnya, tidak selalu dia harus menulis fiksi dengan sosok perempuan tangguh, keras, dan melawan. Fiksi--terutama cerpen dan novel--lebih cair dan luas daripada anggapan itu. Ketika penulis fiksi menceritakan dengan lugas bagaimana sudut pandang 'patriarki' bekerja, maka ada dua kemungkinan. Pertama, bisa saja dia sedang mengolok-olok dan mempermalukan perilaku itu melalui 'sikap jujur, murni, dan menjijikkan' tokoh-tokoh di dalamnya. Kedua, boleh jadi dia seorang patriarki yang tengah mengukuhkan pandangannya sebagai kemutlakan dalam kehidupan. Kemungkinan ini berlaku pula untuk semua isu yang diangkat dalam fiksi. Ya, demikianlah, fiksi bekerja. Fiksi tidak sekeras batu, tetapi tidak secair air.
Foto oleh Pixabay: https://www.pexels.com/id-id/foto/fotografi-sudut-rendah-pada-bangunan-beton-abu-abu-259950/

Posting Komentar
Posting Komentar