Tiga hari yang lalu denging itu meruah di telinga. Denging yang lama tidak kudengar. Denging yang keras, panjang, dan menekan, tepat mengenai lubuk hati paling dalam, seperti panggilan intuisi, membuatku sontak merasa tidak nyaman. Tiba-tiba aku merasa ganjil. Terakhir kali denging itu terjadi adalah sore dua belas tahun yang lalu, beberapa jam menjelang Nenek tiada. Orang tua kami bilang, jiwa seperti dedaunan di sebuah cabang pohon yang rimbun. Ketika satu daun rontok, daun itu akan jatuh dan menyenggol "daun" yang ada di bawahnya, daun milik kerabatnya. Denging itu adalah bunyi saat daun-daun itu saling bersinggungan.
Sore itu aku sempat risau. Kecemasan yang liar menyergap pikiranku. Tapi cepat-cepat aku mengabaikan perasaan aneh itu. Barangkali ini hanyalah gangguan telinga biasa, pikirku menyangkal. Aku meyakini bahwa hal-hal yang belum terjadi adalah sesuatu yang tidak mampu diduga. Takut pada sesuatu yang belum terjadi adalah suatu kebodohan. Lagi pula, semua baik-baik saja kemarin dan kuharap sebaiknya tetap begitu. Aku menanamkan keyakinan jika hari esok cahaya kebahagiaan masih akan menghias wajah-wajah keluarga kami. Aku berharap tak ada siapa pun yang "meninggalkan" rumah kami. Karena duka kematian adalah luka yang sulit sembuh. Karena tiada nestapa yang paling berat dibandingkan kematian.
Tapi pagi ini kabar duka itu datang lebih awal. Bahasa intuisi meski disangkal tak pernah bisa diingkari. Daun yang bersih dan muda itu telah tiba di bagian paling dasar. Setelah melayang-layang lama diterpa angin, setelah memberi senyum sebentar pada kami yang riang menyambutnya lahir; dan setelah sentuhan pertama itu terjadi. Dengingan itu rupanya perjumpaan jiwa kami pertama kali. Lalu sentuhan kedua kami, yakni ketika aku membelai pipinya yang dingin dan pucat terakhir kali.
Aku tahu bahwa besok aku pun akan punah. Aku tahu, esok jiwaku kelak merapuh dan diterpa angin sehingga terlepas dari tangkainya. Tetapi kesedihan tetap saja tak bisa dihilangkan semudah membalik tangan. Duka ini membuatku kembali teringat hari-hari murung saat aku kehilangan adik perempuanku yang baru berumur dua minggu. Begitu menatap kain yang ditutupkan ke muka, aku teringat mimpi buruk pertama itu terjadi. Aku teringat pada raungan isak tangisku sendiri, pada tubuh adik kecilku yang dikafani, pada iring-iringan jenazah yang membawanya pergi ke pemakaman. Dan pada kupu-kupu kuning yang hinggap di muka pintu. Kupu-kupu kecil yang terbang leluasa. Entah apa maknanya.
Setibanya di rumah duka pagi tadi, keponakan perempuanku serta-merta mencegat di depan pintu, lalu bertanya, "Om, aku tadi melihat kupu-kupu putih. Apa itu artinya?"
Aku terdiam agak lama. Lidahku terasa kelu. Aku kehilangan kata-kata. Rasanya aku ingin mengatakan bahwa itu adalah "memori" yang akan membawa kita lagi ke hari ini di masa depan. Suatu hari, kupu-kupu itu akan menjadi kilasan-kilasan berharga yang memberi tahu kita bahwa sejauh mana kita melangkah, selama apa pun kita berlari, kita tetap di ruang yang sama dan kehidupan yang sama. Bahwa kita ini sebenarnya diam, tapi waktulah yang menyeret-nyeret kita pergi, agar bertahan dengan luka-luka yang dipaksa sembuh selekas-lekasnya sendiri.
Ketika mengantar ke pemakaman, waktu terasa kian melambat. Langit yang semula cerah jadi kelabu. Sepanjang jalan aku menahan semak di dada dan detak jantung yang berderap-derap di telinga. Tak fokus lagi mendengarkan celoteh kakaknya sang bayi yang belum mengerti. Dia bercerita banyak hal padaku, tetapi pikiranku sudah menguap ke antah berantah. Sewaktu mendaki tangga menuju pekuburan, sunyi menyergap diriku. Nisan-nisan dan kijing-kijing yang berbaris bagaikan barisan rumah tak berpintu. Sesampainya di hadapan lubang tanah yang menganga kakiku sedingin es. Itu adalah rumahnya, rumahku, rumah kita. Di sana kita kelak dibenamkan dan di sana tempat kita berakhir. Aku jadi ingat kembali pada puisi "Because I could not stop for Death" karya Emily Dickinson.
"We paused before a House that seemed; A Swelling of the Ground –The Roof was scarcely visible –The Cornice – in the Ground –"(Kami berhenti di depan rumah yang tampak bagai terbenam - Atapnya hampir tak nyata - langit-langitnya di tanah - (terjemahan versi Nathaniel Luis Reyhan Soesilo)"
Jadi, inilah rumah barunya. Jiwanya selamanya akan tertinggal di sini. Di sini dia merdeka. Tiada waktu yang akan mengejar-ngejarnya lagi, seperti kami yang bersusah payah menyelamatkan diri dalam jurang ketidakpastian yang menyiksa. Suatu hari aku pun akan kembali lagi ke sini, bukan sebagai yang mengantar, melainkan yang diantar. Maka aku bertanya-tanya dalam hati, "Apakah saat giliran aku yang diantar, kesedihan tidak akan seberat saat aku mengantar? Masihkah aku merasa sedih sewaktu meninggalkan orang-orang yang aku sayangi? Mungkinkah kesedihan ini hanyalah milik orang-orang yang ditinggalkan, tapi tidak untuk yang meninggalkan?"
Aku tidak tahu. Yang aku tahu, setiap aku melihat tanah yang bergulir-gulir jatuh ke liang lahat, hatiku rasanya ikut runtuh ke dalamnya. Aku merasa tenggelam dalam kecemasan-kecemasan futuristik. Aku tidak cemas bahwa kapan-kapan aku akan mati. Sama sekali tidak. Jika ada yang paling kutakutkan, sudah pasti itu bukan mengenai akhir diriku. Bagiku, hidup ini memang bukan kepunyaanku dan kehadiranku di dunia ini bukanlah bagian dari rencanaku. Aku tidak pernah memesan tiket untuk datang ke kehidupan ini dan sudah jelas jadwal keberangkatanku bukan aku juga yang menentukannya. Tapi yang kucemaskan bakal kuatkah aku hidup lebih lama dengan menyaksikan peristiwa seperti hari ini sepanjang hidup? Bagaimana jika Tuhan memberiku umur yang panjang?
Di tengah-tengah situasi seperti ini, maka caraku meringankannya adalah berpijak lagi ke "hari ini" atau "di masa sekarang". Sekalipun hidup terasa sehari dan bagaikan mimpi, aku ingin tetap memaknainya dengan sungguh-sungguh. Aku ingin terus mencintainya dengan menerima dukacita sebagai penguat. Aku akan belajar menjalin duka-luka menjadi pakaian tebal yang melindungi diriku dari putus asa. Aku akan menjabat tangan kematian sebagai sahabat yang menyadarkan kala aku alfa.
Minggu membiru. Matahari perlahan bersinar lagi, jatuh ke ubun-ubun. Awan hitam yang merubunginya sudah pergi. Kaki-kaki satu demi satu beringsut meninggalkan makam yang masih merah. Meskipun aku ingin menangis, aku tetap tidak bisa menampilkan sedihku dengan leluasa. Karena tuntutan hidup sebagai laki-laki dewasa melarang diriku untuk cengeng. Mataku berkaca-kaca dalam bisu. Setiap kali aku ingin bicara, aku bagai menahan sayatan di ujung lidah. Rasanya berkata-kata di situasi sekalut ini seperti kejahatan pribadi. Maka aku dalam resah menulis catatan ini saja sebagai caraku meluapkan isi hati. Dengan tulisan, aku dapat menggambarkan perasaanku. Duka ini aku pikir adalah duka universal. Semua orang pasti tahu bagaimana sesaknya kehilangan. Dan jika kalian membaca tulisan hingga selesai, semoga kalian dapat memaklumi kesedihanku. Aku penulis. Sebab itu aku mengobati diriku dengan tulisan.
11.12.2022
Posting Komentar
Posting Komentar