Laporkan Penyalahgunaan

Tags

Recent Posts

Recent Comments

Nature

Facebook

Popular Posts

Sesal

Aku menangis tersedu-sedu, tapi ia diam saja. Sementara Ayah berteriak-teriak menyesalkan dan mengumpati perbuatan kotor kami yang terjadi di luar kehendaknya. Sekonyong-konyongnya aku menghempaskan tubuh di hadapan kaki lelaki yang dahulu dan sampai detik ini masih kuhormati. Tetapi, semua sia-sia. Setelah apa yang menimpanya, sungguh jelas sudah menurunkan segala harkat dan martabatnya yang ia punya. Aku telah menghinakannya; aku merusak kepercayaan yang diberikannya kepadaku.


Aku tahu Ayah merasa terhina sekali. Andai Ibu berada di tengah-tengah kami, ia pasti turut menyalahkan kebodohanku, 
tapi ia akan tetap meratap-ratap kepada Ayah agar mau mengampuniku. Namun, ibuku sudah lama tiada. Kali ini hanya akulah yang mengiba seorang diri, memeluk kaki ayahku erat-erat; kaki yang meski ia berusia lanjut tetap teguh, tegak, dan kokoh bertumpu pada bumi. Bersedialah aku menerima hukuman apa pun darinya, bahkan tidak akan mengelak bila ia kiranya ingin menendang tubuhku. Memanglah pantas kudapatkan! Sejatinya aku putri yang tak tahu balas budi. Dia mencintaiku dan membesarkanku dengan tekun; dia menghidupkanku dan mendidikku agar tak terjerembab dalam kehinaan di dunia yang nista, tapi kenapa aku malah bertindak melampaui kata-katanya? Kenapa aku gegabah sampai-sampai mengabaikan nasihatnya?

"Ayah, maafkan, aku memang bersalah," kataku merengek-rengek berharap ia sedikit saja menatap wajahku. Lelaki itu membuang muka dan aku merasa bagaikan anjing kurapan dipenuhi borokan di sekujur tubuh lalu mengemis makanan di depan manusia. Tidak pernah ayahku sampai seperti ini, sebab lelaki ini amat sayang kepadaku; yang menghargaiku paling utuh;  yang menempatkanku di atas segala-galanya. Tak ada yang kuminta tidak ia kabulkan. Sekarang ia justru tak sudi melihatku lagi, bahkan ia telah mengatupkan bibirnya yang pucat itu dan menangkis tanganku setiap kali ingin menyentuh tangannya. 

Sementara pria itu—dia yang mengantarku ke dalam jurang kenistaan dan kebohongan— tidak berkutik lagi. Barangkali ia merasa malu usai tinju Ayah beberapa kali mendarat di mukanya, hingga tak mencoba menutup-nutupi atau menyangkal semua yang kami perbuat malam itu. Aku ingin memecah kebekuannya yang mengeras serupa es di antara Paman dan Ayah, dinginnya begitu cepat menjalar ke kakiku. Dingin yang bahkan tidak mampu memadamkan amarah di kepala mereka.

Kuharap setidaknya dia berusaha menenangkan ayahku, dan setidaknya berkata, "Kak, aku akan mengambil tanggung jawab ini, bertanggung jawab kepada Alisa. Tolong maafkanlah dia dulu. Kesalahan ini kami lakukan karena cinta."

Namun, dia mungkin hanya seorang pengecut tak tahu diri, atau dia sengaja tak mau memperkeruh pikiran ayahku yang telah kehilangan jernihnya, lantaran air hina dari tubuhnya yang telah mengeruhkan tubuhku hingga bercampur menjadi onggokan daging yang memalukan bagi keluargaku; air yang menyalin tubuhnya dalam tubuhku sampai-sampai aku dahulu tidak bersedih melakukan dosa; air yang sekarang mengacaukan segenapa pikiranku dan juga ayahku. Apakah dia menganggap serius masalah ini? Apakah dia menganggapku tanggung jawabnya?

"Pergilah! Aku tak sudi melihat kalian berdua lagi di sini. Mulai hari ini kamu bukan putriku lagi, dan kau, Adi, adik macam apa kau ini, hah? Teganya mencemari keponakanmu sendiri. Bajingan!" makian Ayah menggema di ruang tamu, lantang, dan menyesak di dadaku. Kata-katanya amat pedih, dan tidak kusangka begini akhirnya caraku berpisah dengan lelaki yang begitu kusayangi, tetapi di sisi lain aku juga termakan rayuan pamanku itu. Bukan salah dia sepenuhnya, sebab aku mencintai dia; sebab aku tidak peduli siapa dia dalam keluargaku; sebab aku sempat kehilangan pijakan lalu dia datang memberikan secercah harapan masa depan yang baik. Dua puluh lima tahun aku tidak mengenal laki-laki sebaik dia. Yang menerima wanita tak berpendidikan tinggi dan tidak cantik sepertiku. 

"Ayo," ajak Adi. Dia sama sekali tidak menyahut umpatan pedih dari Ayah, dia tidak sebegitu menghiraukan betapa kebencian telah tertanam di kepala ayah terhadap kami berdua. Dan keadaanku sungguh kacau, aku dilema, tak tega meninggalkan ayahku sendirian di sini, tapi sadar bahwa kata-kata itu tidak bisa ditarik lagi. Dalam pikiranku kala itu, berdiam di sini akan menyiksa Ayah saja. Sedang aib yang kusembunyikan lama-lama bakal terendus hidung dan mata tetangga. Semua orang desa akan mencemooh ayahku. Aib sepertiku akan jadi kutukan tujuh keturunan keluarga kami. 

Ayah pantas membenciku. Dia membuangku karena niscaya tersiksa dengan aib yang kubawa, lalu masihkah aku ingin memberatkan hidupnya? Maka tiada pilihan selain menyambut uluran tangan Mas Adi, dan di detik-detik sebelum pergi aku masih berusaha mencium tangan ayahku untuk terakhir kalinya. Namun, ia mencegah sujud terakhir itu terjadi. Dengan kasar ia menepuk tanganku yang gemetaran. Air mataku deras mengalir berharap ungkapan penyesalanku mendorongnya mau mengampuni, tetapi air mata ayah tampak surut dan kering. Matanya merah dan terbakar kemarahan. Aku mengerti mengapa hari itu ia tak menangisi kepergianku. Bukan ia tak berduka dan terluka karena aku, melainkan karena seorang ayah tidak pernah mau kelihatan hancur di hadapan puterinya. Sementara Mas Adi--aku memanggilnya demikian sejak kami resmi menyebut sebagai pasangan--hanya menampilkan wajah kuyu, lesu, amat tertekan, dan takut melihat wajah abang kandungnya sendiri.

"Berhentilah menangis, Alisa. Aku akan membesarkan anak ini. Aku berjanji, " katanya mencoba menenangkanku. Tatapanku terpaku pada jalanan yang lenggang: senyap tak ada lalu lalang kendaraan, lampu-lampu jalan berkedap-kedip dihinggapi para laron, rumah papan dan genteng lapuk, pepohonan rimbun, dan sungai mengalir tenang. Entah mengapa semuanya yang baru saja kulewati seolah berkesan dan punya kenangan di dalamnya; semuanya terasa padu padan dengan kedukaan di hatiku. Bayangan hitam putih samar-samar hinggap di kepalaku. Di sana terukir kala wajah ibu tersenyum sumringah pada suatu hari menyambutku dan Ayah yang baru saja pulang dari suatu tempat. Perempuan itu memeluk tubuh kecilku, dan suaranya bergetar berkata kepada kami: "Semoga di masa depan, aku tidak merasa kekurangan apa pun, yang kubutuhkan ialah kebersamaan dalam keluarga kita. Aku berharap dalam hidup dan matiku, kita tetap merasa sebagai keluarga." 

"Maafkan aku, Bu. Keluarga kita sudah rusak karenaku," bisikku dalam pejam. Berharap Ibu datang menyertai keputusanku yang sulit.

Aku tak bisa lagi menahan mendung di mataku. Ingatan itu seolah-olah membangunkanku dari kebodohan pilihan yang kini kujalani. Hatiku terpuruk, tertekan, bimbang, dan sulit dikatakan betapa merasa bersalahnya diriku atas pilihan yang dahulu sempat kuambil. Sekarang rasanya aku telah ditinggalkan selama-lamanya oleh ayah-ibu secara bersamaan, ayahku tidak mungkin memaafkan kesalahan yang kuperbuat. Dan gara-gara aku bersikap penurut —atau sangat dungu —memilih pergi jauh darinya, sungguh tindakanku hari itu sangat berdosa, durhaka, katakan semua cacian buruk yang layak kuterima. 

Saat itu belum subuh, aku ingat, kami berpindah ke kereta, terus melangkah meninggalkan rumah dan 'kehidupan lamaku'. Sebuah perjalanan panjang dan melelahkan. Mas Adi lelap di bahuku seperti ketenangan hadir di pikirannya dalam kusut dan peliknya persoalan kami. Aku pikir putusnya persaudaraan membuatnya mencari cara melepaskan beban itu.  Hatiku berbisik meyakinkan, sekiranya dia pun merasa bersalah dan kehilangan sepertiku. Aku mengelus rambut hitamnya pelan-pelan. Lelaki ini membuatku sampai bertindak sejauh ini dan mengambil jalan salah. Entah apa yang membuatku takluk kepadanya dengan pengorbanan yang mustahil ditanggung perempuan baik-baik di luar sana. Aku pikir, pengorbananku kelak sepadan dengan cinta yang kudapatkan darinya.

Seberapa apa pun berat beban penyesalanku, tetap saja, aku mengakui sejujurnya perasaanku pada orang ini amat tulus dan teruji. Perasaan gila yang sulit untuk ditolak. Entah sejak kapan aku tidak memandangnya lagi sebagai sosok paman yang berwibawa dan cerdas, atau seorang guru bijaksana nan arif; aku tersadar kekagumanku itu berbeda. Aku tidak naif, kenyataan sebenarnya tersimpan ialah aku tidak peduli atas segala kesempurnaannya sebab aku menaruh perasaan padanya. Aku cuma tidak ingin dia dimiliki oleh siapa pun selain aku, aku menginginkannya, bukan sebagai paman belaka atau keluarga yang hadir di waktu-waktu tertentu. Aku ingin dia hadir di sepanjang hidupku. 

Kupikir tiada mustahil bagi gadis yang hidup terkurung dalam sarang emas yang mengenal sedikit laki-laki di hidupnya, kemudian jatuh hati pada tutur kata manis dan kewibawaan pamannya sendiri. Ayah begitu menjagaku dari dunia yang ia katakan sebagai kubangan neraka, di mana laki-laki tak bertanggung jawan adalah sumber dari duka cita dan kesengsaraan keluarga, namun ia mengecualikan dirinya. Kata-kata Ayah membuatku khawatir kepada setiap lelaki yang mencoba mengenalku lebih dekat. Dan aku hampir mati putus asa bila mengingat tak ada pria yang menurutnya cukup baik selama ini yang pernah kukenalkan padanya. Setidaknya harapan Ayah, pemuda itu harus mendekati karakternya. 

Kehampaan dan ketiadaan lantas musnah seketika, berubah menjadi asa, bagai mimpi indah yang sulit dilupakan. Atau oasis di tengah gurun kering dan mematikan. Semua berkat kehadiran sosok yang persis menyerupai Ayah dan cepat pula mendapat kepercayaan besar pula dari Ayah. Dialah saudara Ayah—dari rahim wanita yang berbeda—satu-satunya. Selama 30 tahun terakhir ia pergi meninggalkan kehidupan keluarganya demi untuk memperbaiki kebiasaan jeleknya yang kerap menggunakan narkotika sebagai hiburan. Hari buruk itu sudah lama berlalu, dan dia sengaja pulang ke kampung halaman buat meminta maaf kepada keluarganya yang masih tersisa, abangnya. Kemudian dia terjebak dalam jurang perasaan yang kubangun buatnya, akulah yang mengusik hatinya, dan melanggar batas-batas kekerabatan yang tak boleh dilompati menurut kepercayaan kami. 

"Kamu belum tidur, Alisa? Tenangkanlah dirimu sayang, aku tahu perasaanmu tidak baik-baik saja. Begitu pun aku. Suatu hari nanti kita akan kembali ke sana, meminta restu dan maaf dari ayahmu. Saat ini ia hanya marah, bukankah wajar bagi seorang ayah memarahi adik dan anaknya sendiri? Jangan kita ambil hati ucapan Abang," kata Mas Adi sepanjang jalan terus menghiburku. 

"Aku tidak tahu," isakku, "Mungkin Ayah tidak akan pernah mengampuni kita, jangankan Ayah, Tuhan yang Maha Pengampun barangkali tidak menerima kesalahan yang kita perbuat."

"Lalu bagaimana aku menebus semuanya? Apakah aku mesti menuruti kemauan Abangku itu buat menghabisi bayi tanpa dosa ini? Tidak, Alisa! Aku tahu, kita ini hina dan berdosa, tetapi orang tua macam apa yang merelakan anaknya dibunuh? Bahkan bayi itu tidak tahu menahu apa yang kita perbuat sebelumnya. Biarlah, biarlah kita teruskan mengambil jalan ini. Mari kita besarkan ia sampai tiba waktunya lahir dan mengenal dunia. Dengan ikatan pernikahan, karena aku tahu kamu berat menanggung beban demikian itu sendirian."

"Aku juga tak berpikiran sekeji itu, Mas. Bersedia bersamamu artinya aku mesti siap menerima konsekuensinya. Mungkin mulai detik ini kita lupakan asal usul kita."

"Ya, setidaknya sampai bayi ini lahir."

"Tidak, aku mau selamanya."

"Ya."

Hanya itulah ingatan buruk tersisa dari sekian perjalanan hidupku. Sebelum akhirnya kata-kata itu kehilangan maknanya selepas tubuhnya melenyap pergi dibawa oleh perasaannya yang labil. Hari itu ia berjanji dengan amat manis dan kemudian setelah sadar ia tak punya hal untuk dipertahankan. Ia pergi sekehendak hatinya. 

Malam usai memegangi tanganku di ruang bersalin, ia pamit ingin keluar sebentar. Namun, sampai esok aku menungguinya, ternyata ia tak kunjung kembali. Sampai akhirnya aku menyadari sesuatu, bayiku tak pernah ia tunjukkan dan ada sepucuk surat di samping ranjangku. Surat yang isinya membuatku menyesal seumur hidup.

"Alisa, terima kasih kamu telah mengabulkan impianku. Bayi kita cantik persis dirimu, tapi aku mohon maafkan aku. Aku tak bisa menikahimu. Aku harus kembali kepada istriku yang sempat kutinggalkan dahulu. Terima kasih kamu mengabulkan harapan kami, memberiku anak dari darahku sendiri. Aku pamit membawa putri kita pergi. Aku berjanji akan membahagiakannya dan memperlakukannya dengan baik. Lupakan aku dan bayi kita. Kembalilah kepada ayahmu dan jadilah anak berbakti. Alisa, dosa ini biarlah aku yang memikulnya sendiri."

Aku meremuk surat itu. Sesak dadaku apabila mengenang segala usaha yang kulewati demi menanggung semuanya. Kemudian dia begitu mudahnya memutuskan pergi dan teganya membawa bayiku yang bahkan belum sempat kususui. Ia sama sekali tak memikirkan perasaanku dan anakku. Tidak kusangka hari itu ia hanya menjadikanku alat untuk mencapai keinginannya belaka. 

Kini, bertahun-tahun sejak aku mencarinya ke setiap tempat. Menyebarkan foto lelaki itu di mana-mana. Menanyakan ia ke penjuru kota asing ini. Namun, tiada satu usahaku yang membuahkan hasil. Barangkali bayiku itu sudah mengenakan seragam sekolah sekarang. Tapi aku tidak akan menyerah mencarinya. Aku hanya akan kembali pada ayahku saat putriku telah kutemukan. Aku ingin membawanya menemui ayahku. Ah, Ayah, semoga engkau saat ini belum tiada.
 
*Ditulis pertama kali 2020 dan diedit ulang dengan beberapa perubahan. 
Eki Saputra
Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Related Posts

Posting Komentar

Popular

  • Surel
    M enurutmu hal seperti apa yang paling dibenci oleh seorang youtuber-tutorial-memasak sepertiku s…
  • Gugatan Perempuan Malam
    Dia gentayangan bebas di malam hari. Ketika malam purnama tiba, ia mulai membalas dendam pada anak …
  • Menunggu
    Tik. Arloji di tanganku bersuara. Jarum pendeknya bergerak pelan tapi pasti, berbarengan putaran ja…
  • Hantu Air
    Demoniac clouds, up-pil’d in chasmy reach Of soundless heav’n, smother’d the brooding night;  Nor c…
  • Catatan Ringan (2): Tentang Kebencian di Media Sosial
    "Fenomena ini cukup mengerikan sih. Bayangkan jika Anda (penulis) tak sengaja melakukan sesuat…
  • Drama Gerbong Kereta
    I Aku mengamati besi tua di hadapanku, setua diriku, kata istriku yang selalu menuntut ini itu. Ber…