Laporkan Penyalahgunaan

Tags

Recent Posts

Recent Comments

Nature

Facebook

Popular Posts

Anak Perempuan

Bagi Karto, seorang ayah tanpa anak laki-laki itu dianggap cacat. Dia tidak pernah punya alasan yang cukup untuk merasa bahagia bersama istrinya. Biarpun sang istri, Karmila, mencoba menghiburnya dengan mengatakan bahwa anak perempuan akan mendatangkan banyak pintu rezeki. Tetapi bagi Karto, perempuan adalah sumber fitnah. Perempuan tak lebih daripada beban yang harus ditanggungnya sebelum mereka mendapatkan suami-suami yang dapat menafkahi dan memboyong mereka lari dari pangkuannya. 

***

Apni tak pernah bermimpi sehari pun menjadi putri pria macam Karto. Bagi Apni, ia merasa lahir seperti jamur yang tumbuh di rahim perempuan begitu saja. Rahim itu tidak dibuahi manusia. Tetapi dimantrai malaikat sehingga Tuhan melemparkan jiwa dari langit ke dalam gumpalan daging yang kelaparan.


***

"Mengapa kau terlalu peduli perkataan kawan-kawanmu itu? Apa peduli mereka!" Karmila naik darah ketika mendengar keinginan Karto agar dia mengandung lagi. Si bungsu nomor tiga belum juga empat tahun. 

Karto mencium tangan istrinya. Ia mengelusnya beberapa kali, "Tapi ucapan mereka ada benarnya, Yang. Kalau aku mati, siapa yang akan memikulku nanti? Sayang, aku yakin anak ke lima kita pasti laki-laki."

"Aku akan membayar orang buat mengantarmu. Kau tidak perlu repot-repot memikirkan cara kami menguburmu nanti. Lagi pula, kalau sudah mati kau tak seharusnya merisaukan urusan itu. Orang mati putus perkara dunia."

"Bukan demikian, Istriku. Aku ingin meninggalkan kau dengan seorang putra agar aku yakin kalian baik-baik saja selama aku pergi."

"Soal itu kau tak perlu takut. Aku pasti akan tetap hidup tanpa kau atau laki-laki mana pun. Demi Tuhan Mas Karto! Aku tak akan menyetop minum pil KB-ku. Kau jangan berharap aku ingin mengabulkankan permintaan tololmu lagi!"

***

"Seperti inilah caraku mendidik anak," ujar Oman memperlihatkan putranya belajar bersepeda. Anak itu dipaksa mengayuh tanpa roda bantu, lalu roboh, tak lama kemudian menyeringai menangis. Oman menekan tombol pause dan menaruh ponselnya lagi di meja. Sebatang rokok ia selipkan ke dua bibir hitamnya. Ia mengudut.

"Itu membuat Izra luka," komentar Karto tidak senang. "Kasihan sekali anakmu."

"Kau tidak tahu apa-apa soal mendidik anak, Bro. Anak jantan memang tak boleh dimanja," katanya sebelum menyumpal mulutnya lagi. Mengenduskan racun dari lubang hidung besarnya.

"Membuatnya tidak luka dan sakit kurasa tidak sama dengan dimanja."

"Tahu apa kau Karto," balas Oman sinis. Raut muka Oman kelihatan kesal. Ia menaruh rokoknya di asbak. "Jangan mengajari burung terbang kalau kau sendiri tak punya burung." 

***

Bagi Apni, ayahnya tidak layak disebut Ayah. Sejak kecil lidahnya terbiasa menyebut pria bermuka bulat itu Karto bukan Ayah. Dia tidak pernah mengajarinya naik sepeda, tidak pernah mengantarnya pergi ke sekolah, mengajaknya ke pasar malam. Karto adalah pria batu yang tak semenit pun mampu menatap bola mata putri-putrinya. Karto adalah nisan berjalan.

***

"Mana mungkin, Bu? Aku sudah makan pil KB-ku sesuai anjuran dari Bu Bidan," kata Karmila tidak percaya hasil tes kandungan baru saja didengarnya. 

"Kurasa Ibu pernah melewatkan makan pil itu," si bidan berbicara tenang meski pasiennya gelisah. 

"Mana mungkin," bantah Karmila. Ia hampir menangis. "Aku tidak ingin punya anak lagi!"

***

Karto benci setiap kali mengenang tragedi dua puluh tahun silam. Kejadian hari itu begitu singkat terjadi. Karmila pamit ikut posyandu dan tahu-tahu sejam kemudian gerombolan manusia menyerbu rumahnya. Mengetuk-ngetuk pintu sangat keras dan mendebarkan. Salah satu dari wanita yang datang megap-megap, lantas melolong, "Karto! Karto! Karmila! Karmila di bawa ke puskesmas!"

"Kenapa dia, Bi? Kenapa biniku?"

"Karmila pendarahan! Ia jatuh didorong anaknya Oman!"


***

Andai hidup dapat ditawar, satu-satunya impian Apni, yakni tidak ingin lahir ke dunia. Dia muak dengan takdir yang mengikat hidupnya. Ia ingin berhenti dari penderitaan yang menyiksa lahir batinnya selama ini. 

***

"Jangan tinggalkan Bapak," kata Karto lemah. Sudah tiga tahun ia hanya bisa terguling di kasur dan Apnilah yang merawatnya. Semua kakak-kakaknya memilih ikut suami mereka dan hanya mengirimkan uang setiap bulan tanpa berniat pulang sehari pun ke kampung mereka.

Dan seperti hari-hari sebelumnya, Apni mengangguk. Ia pun menjawab, "Aku pasti di sini merawat Bapak."

Fiksi mini ini diambil dari Thread saya. 

Eki Saputra
Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Related Posts

Posting Komentar

Popular

  • Surel
    M enurutmu hal seperti apa yang paling dibenci oleh seorang youtuber-tutorial-memasak sepertiku s…
  • Gugatan Perempuan Malam
    Dia gentayangan bebas di malam hari. Ketika malam purnama tiba, ia mulai membalas dendam pada anak …
  • Menunggu
    Tik. Arloji di tanganku bersuara. Jarum pendeknya bergerak pelan tapi pasti, berbarengan putaran ja…
  • Hantu Air
    Demoniac clouds, up-pil’d in chasmy reach Of soundless heav’n, smother’d the brooding night;  Nor c…
  • Catatan Ringan (2): Tentang Kebencian di Media Sosial
    "Fenomena ini cukup mengerikan sih. Bayangkan jika Anda (penulis) tak sengaja melakukan sesuat…
  • Drama Gerbong Kereta
    I Aku mengamati besi tua di hadapanku, setua diriku, kata istriku yang selalu menuntut ini itu. Ber…