Laporkan Penyalahgunaan

Tags

Recent Posts

Recent Comments

Nature

Facebook

Popular Posts

Bunga Meja Makan

Posting Komentar
“Omong kosong! aku tak mau dengar berita bohong itu,” teriak Bang Yudi. Seketika obrolan di meja makan berubah menjadi tegang, aku menatap ke arah Mbak Martha, dia mendadak hening setelah kalimat panjang lebarnya disela dengan sembrono oleh saudaranya sendiri. Emak yang hampir memasukkan sendok ke dalam mulutnya lantas urung, benda itu mengapung sebentar di udara, sebelum akhirnya terkapar di luar piring. Kemudian pandangan kami semua menjadi tertuju kepada sulung di keluarga kami itu. 


“Omong kosong katamu, Bang? Setelah ada anggota keluarga kita meninggal kau masih anggap ini kebohongan? Keterlaluan!” bentak Mbak Martha, sebagai perawat yang mengurus banyak pasien wabah, dia tersinggung terhadap ucapan kakak kami itu. Aku tak mengerti, mengapa keluarga kami berubah semurung ini, semua orang menjadi pemarah, semua orang suka berdebat, dan meja makan ini bagaikan neraka yang selalu terbakar setiap jam-jam makan malam. 

Sebelum hari ini, meja makan adalah sumber kesenangan. Setiap perjumpaan di meja makan, Abah akan memimpin kami berdoa, lalu Emak dengan bersemangat mewadahkan kami nasi satu per satu ke dalam piring. Dia hafal berapa takaran yang pas untuk mengisi perut putra-putrinya, dimulai dari Bang Yudi, Mbak Martha, dan aku, anak termuda di keluarga ini.

Abah nanti akan bertanya tentang apa yang kami lakukan selama hari itu, dan kami bertiga bagaikan anak ayam berebutan ingin membagikan pengalaman lucu, menyebalkan, dan aneh yang kami temui. Tak ada interupsi, tak ada perdebatan, semua saling mendengarkan, kami bisa meluangkan jeda untuk setiap cerita terbaik di hari itu, dan Abah hampir tidak pernah menanggapi kisah kami dengan kemarahan maupun menasihati dengan ayat-ayat kitab, beliau hanya memandangi kami sesekali dan tertawa jikalau itu terdengar lucu. Dia pendengar yang baik, sementara pengomel yang terlatih ialah emak. 

“Oh, jadi maksudmu itu benar? Baiklah, biarkan aku katakan yang meresahkan diriku semisal omong kosong itu benar!” Muka Bang Yudi memerah. Tatapannya nanar, kilatan-kilatan di bola matanya seolah-olah menunjukkan segenap kebencian, lama aku tak pernah melihat ia bersikap seperti itu. Selama ini, dia lelaki humoris yang nyaris tak pernah berkata-kata keras maupun kasar pada adik-adiknya.

“Hentikan Yudi! Jangan lanjutkan lagi kata-katamu,” Emak memotong kalimat putranya. Meskipun terdengar agak parau, ia berusaha mencegah kalimat sadis yang sebentar lagi akan keluar dari mulut lelaki itu. Kami tahu tabiat saudaraku itu.

“Kaulah penyebabnya! sebab ... sebab, kau!“ Abang Yudi mengacungkan telunjuknya ke arah Kak Martha. Saat itu aku tak bisa berbuat apa-apa, dan andai pun aku menguasai waktu maka tetap saja tidak mampu mengubah keadaan. Kata-kata menyakitkan itu akan tetap keluar dari bibir pucatnya, entah hari ini atau besok, aku yakin itu pasti terjadi.

  “Kau yang membawa virus berbahaya itu ke rumah kita! Aku berusaha menahan mengatakan ini padamu, tapi mulutmu yang serba tahu itu tak bisa sedikit saja mengerti.” Dia melanjutkan kata-katanya, tak menghiraukan permintaan emak yang kini tak henti-hentinya mengurut kepalanya. Aku tahu emak sebentar lagi akan menangis.

Kak Martha membeku. Kehilangan warna di bibirnya yang semula merah basah. Tapi dia bukan wanita cengeng, bahkan di hari pemakaman seminggu yang lalu, dia sendirilah yang tak tampak histeris. 

“A-pa maksudmu Bang? Apa alasan Abang sampai tega menyalahkan aku? Aku sudah memeriksakan diri, dan hasilnya aku negatif. Jadi jelas bukan aku penyebabnya!” Ia mengelak, tetapi ucapannya itu terdengar goyah.

Bang Yudi tertawa, terkekeh-kekeh seolah-olah benar-benar menertawakan jawaban adiknya, perlahan-lahan tawa itu berubah menjadi isak tangis. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, meringis. Ada kekalutan yang lama ditahan-tahan, dan kini telah ditumpahkannya begitu saja, di meja makan, tempat yang sama dahulu sewaktu kami makan dan berbahagia. 

Perdebatan itu melenyap, berganti keheningan yang menelan kami satu demi satu, Bang Yudi tak mengatakan sepatah kata lagi, ia beranjak dari meja makan. Emak sudah pasti menangis terisak-isak, dan aku ingin memeluk tubuhnya erat-erat, tapi aku tak punya keberanian buat melakukannya. Sementara Kak Martha, dia juga menangis lirih. Tangisan yang nyaris tidak bersuara. Aku memahami kedukaan di hatinya, sekalipun Bang Yudi tidak mengucapkan kata-kata itu, dia tetap akan menangis juga. Karena aku sering menemukannya menangis sendirian saat semua orang sedang terjaga.

Dua jam kemudian, meja ini kembali kosong. Piring-piring kotor dibiarkan berserakan, gelas-gelas tertelungkup, dan hidangan kebanyakan masih utuh, tak disentuh sama sekali, kecuali lalat yang datang malam-malam menyelinap, menikmati makanan tanpa permisi. Tak ada yang datang bahkan sekadar untuk memadamkan lampu dapur, mereka sudah pergi tidur ke kamar masing-masing. 

Biasanya aku, Emak, dan Kak Martha selalu ribut soal urusan cuci piring dan membereskan meja. Sedangkan Bang Yudi dan Abah akan bertaruh, siapa yang akan kena bagian sial itu? Tentu saja, Abah tidak mungkin menebak diriku yang bernasib sial itu, lain dengan Bang Yudi, dia selalu menjadikanku kartu mati. Sebetulnya tidak salah, memang aku yang selalu kalah setiap bermain gunting batu kertas dengan Kak Martha. 

Sayang, kilasan-kilasan ingatan itu sekarang tak berarti lagi. Meja makan ini tak bedanya dengan api yang menyala-nyala, membakar hati penghuninya, dan menggosongkan perasaan mereka, hingga tak ada lagi tawa apalagi kebahagiaan. Semuanya telah berganti kesedihan, kepedihan, dan luka yang membebani semua orang.

Aku meninggalkan meja makan tanpa pamit. Garpu di tanganku kulepaskan, berdenting jatuh ke atas lantai keramik. Pelan-pelan aku melangkah pergi, meninggalkan ruangan sunyi senyap itu. Namun, pada saat hampir melewati pintu pagar. Aku tergerak ingin menoleh kembali ke belakang. 

Dari balik tirai, mataku mendapati bayangan perempuan berjalan ke arah dapur, itu pasti Emak yang datang memeriksa suara garpuku tadi. Langkahku seketika jadi berat. Seperti tarikan magnet yang amat kuat, aku seolah dipaksa duduk kembali di kursi meja makan, berdua saja, bersama emak yang melamun di hadapanku. 

“Kenapa Engkau ambil putraku juga, Tuhan, belum puaskah Engkau panggil suamiku?” bisiknya. 

Air mataku merembes di pipi. Kali ini bukan hanya emak sendirianlah yang menangis, kini aku juga, kurengkuh kuat-kuat tubuhnya yang ringkih. 

“Maafkan aku, Mak,” ucap Kak Martha dari balik gorden. Ia sedari tadi berdiri ingin mendekati kami, tapi tak berani. 

Eki Saputra
Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Related Posts

Posting Komentar

Popular

  • Surel
    M enurutmu hal seperti apa yang paling dibenci oleh seorang youtuber-tutorial-memasak sepertiku s…
  • Gugatan Perempuan Malam
    Dia gentayangan bebas di malam hari. Ketika malam purnama tiba, ia mulai membalas dendam pada anak …
  • Menunggu
    Tik. Arloji di tanganku bersuara. Jarum pendeknya bergerak pelan tapi pasti, berbarengan putaran ja…
  • Hantu Air
    Demoniac clouds, up-pil’d in chasmy reach Of soundless heav’n, smother’d the brooding night;  Nor c…
  • Catatan Ringan (2): Tentang Kebencian di Media Sosial
    "Fenomena ini cukup mengerikan sih. Bayangkan jika Anda (penulis) tak sengaja melakukan sesuat…
  • Drama Gerbong Kereta
    I Aku mengamati besi tua di hadapanku, setua diriku, kata istriku yang selalu menuntut ini itu. Ber…