Laporkan Penyalahgunaan

Tags

Recent Posts

Recent Comments

Nature

Facebook

Popular Posts

Mencari Obat Mati: Awal

Lampu sein kendara benderang menyoroti jalanan aspal bergurugut, kasar, dan berpesuk-pesuk. Bus tua itu melaju lambat menembus sunyi malam bagai kombinasi kunang-kunang dan lebah menderap di kegelapan. Pria bertopi hitam terbalik menguap di tepi pintu belakang bus. Tangan kanannya bergelantungan, sebelah lainnya melambai-lambai ringan diayun angin malam yang dingin. Selepas menabuh dinding pintu bus dengan koin sebanyak tiga kali tanpa jeda ia meloncat turun dengan tampang ogah-ogahan. Seorang pria bungkuk terseok-seok turun dari pintu seraya memikul buntalan karung yang diikat atasnya. Si kernet yang lunglai tak menawarkan bantuan, hanya diam memandang punggung si kakek yang menghilang tanpa jejak setelah melintasi jembatan gantung sebuah kampung yang gulita.

Kemudian si kernet tanpa berkata-kata melompat naik kembali. Ia mengulangi ketukan koinnya sebanyak satu kali. Tanda ia sudah siap melanjutkan. Ketukan itu sebenarnya terdengar pelan dan tidak bergairah, tetapi kuping si sopir yang terlatih pada bunyi-bunyi sekecil apa pun segera menangkap kode perintah itu. Maka spontan bus itu kembali menggeru. Geruan yang diikuti bunyi getar besi-besi rangka bus yang berkarat dan renggang. Raung dan geru itu membangunkan seorang penumpang yang duduk di kursi tengah. Kini ada lima penumpang yang tersisa. Empat laki-laki yang mengisi bagian tengah dan satu perempuan yang duduk di kursi samping pengemudi bus. Pria yang barusan terjaga itu menguap lebar-lebar lantas menggeliat seperti kucing pemalas. Dia menoleh ke kanan-kiri, ke kursi yang berada di hadapannya. Ia tak memperhatikan ada penumpang lain yang duduk di depannya. Pria yang sejak tadi memasang wajah muram menatap lurus ke jendela. 

"Kau turun di mana?" ujar pria itu mencoba berusaha beramah tamah. Ia mengusap mukanya dan menguap sekali lagi menunggu dijawab. "Aku hampir sampai," sahutnya sendiri (lagi) karena basa-basinya itu tidak jua ditanggapi. 

Sementara penumpang di hadapannya itu hanya mengeras. Ia melamun sejak naik dari tempat asalnya. Pemuda itu tidak tergoda seperti halnya penumpang lain yang jatuh dalam kantuk mereka. Matanya tajam hanya memandang lurus ke arah jendela.

Setelah menit-menit berlalu, setelah pria duduk di belakangnya tadi bangkit dan pergi turun, barulah kemudian lelaki berwajah muram itu menarik kaca bus dan menjulurkan tangannya keluar jendela. Ada sesuatu yang diremasnya erat-erat. Lalu genggaman yang kuat itu pelan-pelan ia lepaskan.

"Ini sudah cukup," bisik si penumpang sebelum memekarkan jari-jarinya dan membebaskan sepenuhnya genggaman tangannya dengan wajah putus asa.

Benda itu jatuh vertikal seakan ditarik oleh kekuatan tak kasat mata menuju pusat bumi. 

Sebongkah batu merah memelesat, merosot dari tangannya. Batu itu bergulir-gulir, menyatu bersama kerikil jalan yang tak bertuan. 

Tetapi tiba-tiba datanglah mobil truk bermuatan penuh--entah apa--yang ugal-ugalan datang mengebut dari belakang, menggilas batu yang dijatuhkan tadi hingga renyuk. Truk ganas itu dengan segera membabi buta menubruk ekor bus ringkih itu, membuatnya seketika terdesak dan kehilangan kendali, lantas tergelincir dan terbuang ke sisi jurang. Meluncur lepas bagaikan bola salju berguling-guling. Kemudian ringsek setelah terhempas mencapai dasar jurang yang dipagari perdu dan batang-batang tinggi; dan menyerdawakan asap. Asap yang bagaikan kabut mewarnai malam yang lenggang dan legam. 

Ketika penumpang si pembuang batu membuka mata, kabut asap telah mengepung segala penjuru penglihatannya. Ia sesak dan terbatuk-batuk sembari menahan perih di sekujur mukanya. Kepalanya pening dan pandangannya agak berkunang. Darah merembes dingin di dahi. Aroma solar dan kain gosong terbang menyengat menyusuki hidungnya, membuat hatinya kian jeri. Bukan main paniknya lelaki itu ketika menyadari bahwa tubuhnya dalam posisi terhimpit di kursi penumpang. Langit-langit bus yang tadinya di atas kepalanya, kini sudah mencium tepat di ubun-ubun. 

Menit demi menit berlalu pemuda itu terus berteriak-teriak hingga parau menghrapkan seseorang yang kiranya baik hati mau datang membebaskannya, menolong sopir, kernet, dan penumpang yang tersisa. Tetapi saat ia melihat ke sekeliling, ia merasa usahanya percuma, sia-sia, sebab tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi yang tersisa di tempat ini, kecuali dirinya sendiri. Maut sudah bekerja hampir tuntas. Dan sekarang tersisa ia saja, dalam bus tua sekarat ini, yang menunggu giliran penghabisan. Mengapa aku masih dibiarkan bernapas? pikirnya pasrah pada kenyataan. 

Jantung lelaki itu berdetak kuat. Semakin lama, semakin ia sadar, sudah tidak ada harapan. 

Meski begitu ia mencoba mencari akal meloloskan diri--dengan sekuat tenaga yang tersisa--demi bebas dari gencetan bangkai bus ini. Namun, setiap ia hendak menggerakkan bagian bawah tubuhnya, seketika ia dilanda nyeri tak tertahankan. Tulangnya mungkin sudah retak dan remuk di dalam. 

Jadi inilah hidupku, ia membatin. Ia sungguh yakin bahwa ia sudah tidak punya harapan. 

Dalam kepasrahannya, ia masih berusaha mengambil sesuatu yang terselip di kantong kemejanya. 

Sebuah surat yang sudah lecak. Surat yang seharusnya ia serahkan bersama dengan batu yang ia lemparkan tadi ke jalan. 

Meski tahu ini bukan waktu yang bagus untuk membaca dan mengenang. Tetapi apa lagi kiranya yang bisa ia lakukan saat yakin tidak ada cara untuk menyelamatkan diri dari maut? Setidaknya sebelum mati ia tahu apa yang akan ia ingat untuk terakhir kalinya. Setidaknya ia memanfaatkan kesadaran yang tersisa sebelum memorinya benar-benar musnah bersama jasadnya yang tiada. Ia ingin memutar ringkas perjalanan hidupnya selama dua puluh enam tahun terakhir. Mengenang kisah hidupnya yang sia-sia.
Eki Saputra
Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Related Posts

Posting Komentar

Popular

  • Surel
    M enurutmu hal seperti apa yang paling dibenci oleh seorang youtuber-tutorial-memasak sepertiku s…
  • Gugatan Perempuan Malam
    Dia gentayangan bebas di malam hari. Ketika malam purnama tiba, ia mulai membalas dendam pada anak …
  • Menunggu
    Tik. Arloji di tanganku bersuara. Jarum pendeknya bergerak pelan tapi pasti, berbarengan putaran ja…
  • Hantu Air
    Demoniac clouds, up-pil’d in chasmy reach Of soundless heav’n, smother’d the brooding night;  Nor c…
  • Catatan Ringan (2): Tentang Kebencian di Media Sosial
    "Fenomena ini cukup mengerikan sih. Bayangkan jika Anda (penulis) tak sengaja melakukan sesuat…
  • Drama Gerbong Kereta
    I Aku mengamati besi tua di hadapanku, setua diriku, kata istriku yang selalu menuntut ini itu. Ber…