Laporkan Penyalahgunaan

Tags

Recent Posts

Recent Comments

Nature

Facebook

Popular Posts

Mencari Obat Mati: Firasat

Bab 1: Firasat

Petang ketika Ali Martopo ditemukan gantung diri di pohon duku, Mat Bedil sedang mengeruk lumpur di pinggir telaga yang hampir kering, ditemani nyanyian merdu burung-burung murai yang menyelinap di balik daun sungkai, serta kertak kaki biawak yang berlari kaget masuk ke semak-semak saat mendengar suara pria itu menguap panjang. Semerbak bau luluk, endapan dedaunan, dan buntang ikan yang entah telah bertahun-tahun membusuk dan menumpuk di genangan itu segera mengelana ke segala penjuru telaga yang nyaris kerontang. Telaga kecil yang tersembunyi jauh di belakang dusun. Telaga yang tercipta dari penghidupan orang-orang di masa lalu, sebelum alam mengambil alih tempat itu sebagai milik mereka. Di sana pernah ada berkubik-kubik tanah liat halus yang merupakan bahan terbaik untuk mencetak genting. Konon, ledakan gunung di pulau antah berantah yang terjadi beratus abad silam telah membaurkan abu vulkanik ke dalamnya, menciptakan lempung yang terkenal kuatnya. Maka tersebab itulah orang-orang dusun sempat berpuluh tahun lamanya bekerja cetak-mencetak genting. Namun, di tahun-tahun selanjutnya pekerjaan cetak-mencetak genting tak lagi menguntungkan mereka, sebab lempung itu pun pelan-pelan habis dikeruk, menyisakan lubang-lubang abstrak yang kurang sedap dipandang mata. Dan, tatkala musim penghujan tiba, maka tenggelamlah semua lubang itu berganti menjadi hamparan air yang dikelilingi kekayuan serta semak belukar, namun menyisakan sebuah pulau kecil di tengah-tengahnya: sebuah tanah sempit yang dihuni rumpun pandan duri yang suram dan seram. Setiap kali mata pelintas yang menggerayang ke arahnya, maka timbul prasangka buruk di dalam hati mereka akan keberadaan sarang ular raksasa atau tempat buaya muara singgah bertelur dan beranak-pinak di sana. Biar bagaimanapun, itu tidak mustahil terjadi. Sebab hanya perlu hujan deras sehari semalam saja maka Sungai Muaras beberapa depa dari sana alirannya mampu melimpas hingga menyatu dengan tepian danau, menghilangkan batas daratan, sehingga menciptakan lautan momok bagi penduduk sekitar.

Mat Bedil berdiri lesu dengan setengah lutut kurusnya terendam di kolam lumpur. Setelah mengisi embernya dengan luluk hingga penuh, dia kemudian bangkit keluar dari kubangan itu. Lalu berjalan terhuyung-huyung, pindah menuju genangan air keruh, beralih ke lubang tak jauh dari tempatnya berdiri sebelumnya. Kolam itu adalah satu dari tiga kolam yang belum sepenuhnya kering diisap tanah. Masih ada lubang raksasa di tengah-tengah, dan satu lagi di seberang, tetapi letak mereka agak jauh. Jadi, Mat Bedil lebih memilih ceruk berisi air kotor di dekat pinggir tebing. Itu lebih mudah untuk dijangkau pria bungkuk dan rapuh seperti dirinya. 

Mat Bedil dengan gerakan lemas langsung membasuh tubuh cekingnya yang kotor seolah tak terganggu dengan bau anyir di dalam kolam likat itu. Warnanya sebukat kopi susu. Tanda bahwa sekumpulan orang-orang rakus sudah mengudaknya dengan beberapa bongkah tuba. Ia menyibak air, berusaha menggera kumpulan buntang ikan gabus dan ikan-ikan kecil yang terapung-apung dan sesekali dirubungi lalat. Setelah mengeligis tidak tertahan-tahan, barulah ia beranjak bangkit dari air beracun itu. Mengulangi pekerjaannya, memindahkan luluk itu ke angkong. 

Ganggang gatal yang tumbuh merapat di pinggir kolam mati tercerai-berai begitu diterabas tulang kaki Mat Bedil. Dengan langkah lunglai dan dada kembang kempis serta napas tersengal-sengal persis ikan sial yang terlompat ke darat, ia kepayahan mengangkat dan menuangkan ember berisi lumpur itu ke dalam karung di angkongnya.

Ketika kali sekian ia mengulangi lagi tindakannya itu, belum memcapai ke angkong yang hendak dituju, tiba-tiba saja kakinya tersangkut ke akar pohon karet. Ia jatuh terjerembab, menumpahkan ember bawaannya.

"Babi!" umpat lelaki itu sangat kesal. "Matilah gancang!" jerit Mat Bedil lagi. Setelah itu ia mendesah seraya berusaha berdiri lagi dengan berpaut-paut pada batang karet di dekatnya.

Bila dipikir-pikir, mungkin ia memang sudah layak mati. Usianya dapat dengan mudah ditaksir siapa pun ketika mereka melihat sekilas kecut penderitaan di wajahnya dan sorot matanya redup serupa lilin yang hampir habis. Kadang-kadang ia sendiri diam-diam belakangan merasa sudah mencium bau tanah yang menguar dari ketiaknya; ia merasa bahwa waktunya sudah tidak begitu lama lagi di dunia yang tak barang sehari pun ia cintai. Dunia terasa kejam bagi manusia seperti dirinya.

Namun, dunia tak pernah menimbang perkara suka atau tidak suka penghuninya. Di umur Mat Bedil yang genap menginjak delapan puluh sembilan tahun, ia nyatanya masih tetap kebal dari ajal. Maut seolah-olah sungkan ingin bertandang ke rumahnya. Maut barangkali kecewa menyaksikan manusia berbadan ringkih dan bertulang bagaikan mesin yang mudah lepas baut dan murnya itu, ternyata masih giat memeras keringatnya demi sepiring nasi dan lauk sederhana. Ia bekerja sampai kering ketiaknya, sampai giginya ikut pula berpeluh-peluh. Sehari-hari ia mengerjakan apa saja kiranya yang bisa dia kerjakan, termasuk mencetak batu bata.

Mat Bedil menguap.

Sejak siang, ia bersusah payah menjerang badan di bawah terik matahari jahanam demi mengumpulkan lumpur untuk menambal dinding dapur batu bata di pabrik kecilnya. Entah sudah berapa kali ia jatuh terjerembab saat mengangkat ember cat berat itu. Tetapi, mau berapa kali pun jatuh, dia terus bersusah payah berdiri lagi, bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa. 

Seorang pemuda berbadan gempal, tinggi jangkung, dan berambut ikal berjalan melewati tepi danau itu. Usianya kira-kira dua puluh tahunan. Kelihatannya ia hendak berangkat memancing ke sungai. Tetapi sudah sekian detik ia membeku, menghentikan langkahnya dalam kebisuan. Ia terdiam karena menyaksikan adegan mengenaskan di hadapannya. Digerakkan oleh rasa ibanya, ia pun mendekati Mat Bedil. Dilepaskannya keruntung di pinggangnya dan dijatuhkannya terburu-buru papan dayung perahu di tangan kanannya. Ia sepertinya hendak membantu lelaki tua itu. Akan tetapi, saat ia hampir merebut tali ember dari pegangan Mat Bedil tiba-tiba saja tangannya ditepis dengan agak kasar. 

“Tak usah! Aku bisa sendiri. Kau jangan meremehkan tenagaku," ujar Mat Bedil. Suaranya keras dan nada bicaranya terdengar meninggi. 

“Tidak ... bukan, bukan begitu, Kek," bantah si pemuda dengan panik. "Aku hanya ingin membantu."

"Terima kasih, tapi aku masih kuat," sahut Mat Bedil, ketus. 

Pemuda itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung dengan penolakan yang sangat tajam dari lelaki tua itu. Bukankah niat membantuku ini baik?Mengapa ia seperti tersinggung sekali? Apa salahku? pikir si pemuda bertanya-tanya. Ia keheranan sendiri. 

“Menyingkirlah, aku mau lewat,” usir Mat Bedil. Sejak tadi ia tidak menoleh kepada wajah lawan bicaranya. 

Si pemuda segera menggeser posisinya berdiri. Tetapi alih-alih menuruti perintah untuk segera pergi, ia tetap mematung dan menatap diam punggung Mat Bedil. Ia belum mengerti dengan kesalahan yang telah ia lakukan. Lebih tepatnya ia tidak terima disalahartikan niat baiknya, padahal ia tidak ada pikiran meremehkan. Yang ia lakukan semata-mata lantaran tak tega melihat si kakek jatuh-bangun sendiri. 

Tidak lama berselang, sesudah Mat Bedil memindahkan lumpur dari embernya ke dalam drum terpotong setengah di angkong, Mat Bedil menghampiri pemuda itu. Kini, ia pun berkata dengan sikap yang lebih tenang daripada sebelumnya, "Kau tidak perlu cemas. Aku paham niatmu," ia terbatuk-batuk hebat agak lama. "Kau jangan ambil hati dengan perkataanku barusan. Aku cuma tidak suka dibantu tanpa kuminta."

"Saya tak merasa tersinggung, Kek. Justru saya tidak enak hati," balasnya sembari mengangguk-angguk pelan. Ia tersenyum lega. "Saya salah. Seharusnya saya bertanya lebih dulu pada Kakek. Maafkan saya "

Mat Bedil menggeleng pelan. "Tidak, tidak, kau tidak perlu minta maaf. Yang kau lakukan itu sudah benar. Rasanya, aku sudah jarang melihat bujang-bujang sepantaranmu yang tidak berat tangan."

"Apa kau ini orang pendatang? Rasanya aku tak pernah melihat kamu sebelum ini," tanya Mat Bedil sembari memandangi pemuda di hadapannya itu lamat-lamat, mengingat-ingat wajah yang mirip dengan pemuda itu. Mata berkantung kecut itu seakan tidak mampu menerka dengan jelas siapa sosok di depan mukanya. "Benar, aku merasa asing, tetapi tidak asing dengan wajahmu. Seperti kenal tapi tidak kenal."

“Saya Sultan, Kek, anaknya Sarudin, orang dusun ini."

"Sarudin? Wah, rupanya kau Sultan! Bah sudah berbeda sekali wajahmu. Dulu rasanya kau tidak segagah ini."

"Aish, Kek. Saya begini-begini saja dari dulu," balas Sultan malu-malu. Hidung peseknya mengembang karena dipuji. "Itu karena saya selama beberapa tahun ini pergi merantau, jadi Kakek lupa. Baru semingguan ini saya pulang lagi ke dusun.”

“Sudah kusangka nian! Aku sebenarnya sekilas merasa tidak asing denganmu, tapi jika kupandangi lebih lama seperti bukan orang yang pernah kukenal," sahut Mat Bedil terkekeh. "Ternyata tidak salah tebakanku. Tapi kau persis dengan bapakmu, sama-sama ringan tangan. Nah, jadi kau saja sebentar ya di sini?" 

"Entahlah, Kek. Saya pulang ke dusun karena kontrak kerja saya di pabrik sedang habis. Kemungkinan, selama belum mendapat pekerjaan di PT, saya bakal membantu Umak menyadap karet saja di sini."

"Ya, memang harusnya begitu. Bekerja apa pun asal telaten pasti bakal menghasilkan. Nah, kalau begitu silakan lanjutkan perjalananmu ke sungai. Lihat pekerjaanku belum selesai,” Mat Bedil mengakhiri pembicaraannya buru-buru. Sebelum benar-benar pergi, Sultan langsung meraih tangan Mat Bedil yang kumal dan menyalaminya.

Mat Bedil terenyuh dengan kesopanan semacam itu. Ia tersenyum sampai-sampai memperlihatkan deretan gigi kuningnya yang sebagian nyaris tinggal tunggul. Betapa ia kagum dengan sikap jejaka itu. Jarang-jarang dia menemukan kesantunan anak muda, apalagi yang dibawa-bawa sampai ke hutan. Padahal tanganku ini sedang kotor, pikirnya, tetapi ia masih mau menyentuhnya. Dipikir-pikir kalau dibanding-bandingkan orang dusun yang kerap ia temui, anak itu cepat mengerti kemauannya. Sangat berbeda dengan orang-orang yang acap kali mudah tersinggung karena menyalahartikan penolakannya. Dianggaplah dia tua bangka yang sengak, ketus, angkuh, dan tak tahu menghormati pertolongan. Padahal, meski benar tua bangka, sifat aslinya tidak begitu. Memanglah macam itu nada bicaranya dan pembawaannya. Memang demikian prinsip yang ia pegang: pantang jadi beban orang lain. Pantang baginya dikasihani. 

Mat Bedil jadi teringat kejadian lima tahun silam. Pada suatu hari pernah ia diberi bantuan sembako oleh pemerintah dusun karena dianggap lansia nonprpduktif yang masih bekerja. Mereka datang ke rumahnya membawakan sekarung beras, sekilo gandum, sagu, dan gula pasir, sebungkus garam dan kopi, tetapi ia dengan tegas menolak mentah-mentah segala pemberian itu. Diwadahkannya kembali ke dalam dus dan karung semua pemberian. 

“Aku bukan pengemis, Pak Kades,” kata Mat Bedil dengan nada sinis selesai mengembalikan segala pemberian itu. Kades itu kemudian berusaha menjelaskan duduk perkaranya. Ia menyebutkan bahwa pemberian yang demikian tidak semata-mata karena belas kasihan. Ada memang kategori yang layak untuk diberikan bantuan—ia berhati-hati memilih kata tanpa mengatakan sebab pria tua itu miskin, tua, dan melarat. Akan tetapi, semakin diyakinkan, semakin bersikeras pula Mat Bedil menolak. 

“Kau ini pandai memutar lidah, Pak Kades. Maafkan aku. Tanpa bermaksud menurunkan derajat kau dan mengurangi rasa hormatku pada kau, aku tidak ingin menerima pemberian ini. Kembalikanlah kepada pemiliknya dan katakan kalau aku tak butuh disumbang,” timpal Mat Bedil terdengar angkuh, “aku ini masih kuat bekerja. Kalau aku tidak mampu lagi, biarkan saja aku mati. Untuk apa aku hidup dari pemberian orang-orang.”

“Jangan begitu, Wak. Nama Wak sudah kami daftarkan ke pemerintah. Lagi pula, apa salahnya Wak sekadar menerima bantuan kami ini? Itu artinya kita menghargai niat baik orang lain. Wak itu sudah uzur. Kalau pegawai negeri, sudah masuk pensiun, jadi memang layak dibantu,” ucap Pak Kades yang mulai gelisah. Ia kehabisan kata-kata menanggapi sikap keras kepala Mat Bedil.

“Orang sepertiku tidak butuh pensiun, Pak. Dengar, aku sejak di dalam perut sudah dipersiapkan bekerja. Kalau sehari aku tidak bekerja, otot-ototku serasa lembek, tulang-tulangku bagai patah. Demi Tuhan! Demi puyang! Aku takut mati dalam keadaan bermalas-malasan, apalagi kalau aku masih muda, tapi menipu dan mencuri hak-hak orang lain,” ucapnya pongah di depan Pak Kades dan dua perangkat desa yang datang hari itu. Mereka akhirnya lekas-lekas pulang tanpa berkata apa-apa sembari memasang muka merengut dan sebal. Ucapan terakhir Mat Bedil tampaknya membuat mereka tersinggung dan terbakar api kemarahan.

Maka tidak heran bila sejak hari itu dia merasa bahwa beberapa perangkat desa kerap menyebar omongan pada warga Dusun Talang Pelawi bahwa dia orang miskin yang angkuh, keras kepala, kurang sopan, kurang ajar, dan kurang segala-galanya. Kini, pada sore yang lindap, ia terkenang kejadian itu. Pantas saja mereka segan dan enggan berurusan denganku, pikirnya. Dia mual sendiri tiap kali teringat ingatannya dua tahun silam itu. Tapi, meskipun hari ini begitu payah, aku tetap tak sudi mengemis dan meminta bantuan mereka. 

Mat Bedil meraih botol bekas satu setengah liter agak menguning di atas belitan akar akasia. Ia mengabaikan iring-iringan semut kerengga tengah asyik merambati tubuhnya. Dan tepat di atas kepala pria itu, seekor tempua sibuk berayun-ayun menenun sangkarnya. Angin yang bertiup lambat menggoyangkan dahan-dahan kekayuan yang tampak ranggas. Ranting-ranting di pucuk pohon terlihat meruncing ke atas bagaikan menusuk langit. Si tokek yang menempel di atas dahan sana pun menyalaki Mat Bedil yang mereguk air di bawah kayu itu. Bola mata besarnya menatap waspada, seakan takut jika sewaktu-waktu dirinya terancam karena tindak-tanduk manusia lapuk di bawahnya itu.

Seteguk-dua teguk Mat Bedil medesah puas, lalu ia mengaduh kecil saat sadar semut keparat itu telah menggigit pangkal betisnya tepat ke tali urat. Pria bungkuk itu sontak langsung berdiri, mengibas-ibaskan celana pendeknya yang lembab. Tak lama kemudian ia kembali menerjunkan diri lagi ke air. Namun, sewaktu hendak mengambil lumpur di pinggir telaga itu, matanya terhenti setelah menangkap bayangan hitam timbul-tenggelam di tengah-tengah kolam paling besar di danau itu, seolah-olah tengah memperingatkannya akan kedatangan bahaya sesuatu. Ini pasti firasat, Mat Bedil membatin. Perasaannya tercekam. Dia yakin sesuatu yang buruk pasti telah terjadi; entah di mana, entah siapa, entah bagaimana caranya, ia percaya suatu musibah baru saja digariskan. Sesuatu yang demikian ialah amat hafal tanda-tandanya. Sosok legam itu selalu hadir di detik-detik peristiwa buruk. Sosok yang hanya dapat dijamah matanya sendiri dan dipahami tujuannya olehnya pula.
Eki Saputra
Seorang penulis lepas, penikmat karya sastra dan film pendek. Tulisannya berfokus pada isu kemanusiaan, kesetaraan gender, dan lingkungan.

Related Posts

Posting Komentar

Popular

  • Surel
    M enurutmu hal seperti apa yang paling dibenci oleh seorang youtuber-tutorial-memasak sepertiku s…
  • Gugatan Perempuan Malam
    Dia gentayangan bebas di malam hari. Ketika malam purnama tiba, ia mulai membalas dendam pada anak …
  • Menunggu
    Tik. Arloji di tanganku bersuara. Jarum pendeknya bergerak pelan tapi pasti, berbarengan putaran ja…
  • Hantu Air
    Demoniac clouds, up-pil’d in chasmy reach Of soundless heav’n, smother’d the brooding night;  Nor c…
  • Catatan Ringan (2): Tentang Kebencian di Media Sosial
    "Fenomena ini cukup mengerikan sih. Bayangkan jika Anda (penulis) tak sengaja melakukan sesuat…
  • Drama Gerbong Kereta
    I Aku mengamati besi tua di hadapanku, setua diriku, kata istriku yang selalu menuntut ini itu. Ber…