"Walaupun kata bagus sebetulnya subjektif. Dee, Eka Kurniawan, Stephen King, dan banyak penulis lain sangat sering (berkali-kali) mengalami penolakan oleh penerbit."
Diposting pertama kali di akun facebook Eki Saputra pada tanggal 16/09/2020.
Suatu hari aku merasa tulisan yang kubuat sudah cukup layak, lalu beberapa hari setelahnya aku menganggap itu buruk. Di fase merasa buruk, penyakit editorku mulai bergejolak, ingin memperbaiki segalanya dan membuatnya jadi sesempurna karya yang menurutku bagus. Kupikir itu mudah. Aku menulis sembari menyunting naskah, dilakukan secara bersamaan bukan bergantian. Namun, kenyataannya malah lain. Seperti pepatah yang pernah kubaca, begini kira-kira bunyinya:
"Bila kau ingin satu, jangan ambil dua. Karena satu menggenapkan tapi dua melenyapkan." -Dee
Bila kuringkas sesuai konteks yang terjadi, pepatah itu seolah-olah bilang: semakin kau berusaha mengejar dua hal dalam sekali waktu, yang terjadi justru engkau bakal kehilangan salah satu.
Kesempurnaan itu butuh proses yang panjang. Semua penulis --aku sendiri-- punya sisi idealis yang tinggi. Kurasa semua penulis setidaknya punya impian atau semacam motivasi yang ingin dicapainya: mungkin berupa uang, nama besar, karya yang bagus, status, atau segelintir pembaca. Aku pun juga, impianku begitu sederhana: ingin menghasilkan karya yang bagus. Walaupun kata bagus sebetulnya subjektif. Dee, Eka Kurniawan, Stephen King, dan banyak penulis lain sangat sering (berkali-kali) mengalami penolakan oleh penerbit. Ada yang ditolak karena tulisannya dinilai kurang diminati atau tidak sesuai selera pasar pembaca tanah air, ada yang dianggap tidak 'nyastra' dan kurang bagus, sisanya dianggap sampah, bahkan penulis luar pernah mendapatkan balasan dari editor dengan sangat sadis: Kuharap kau berobat ke rumah sakit jiwa setelah aku membaca tulisanmu.
Tetapi, orang-orang ini amat bebal, kuat dan tahan banting, hingga mereka mencapai titik terhebat di kehidupannya. Titik di mana mereka keluar sebagai pemenang melawan ego dan menjadi diri mereka apa adanya, tanpa takut dicerca dan dianggap buruk oleh orang lain (satu kesimpulan yang saya dapatkan sehabis menyaksikan film Black Swan). Seandainya saja mereka ini cengeng, mungkin sudah mereka lemparkan semua naskah ke kotak sampah, kemudian dibakar atau dihapus permanen dari folder laptop.
Hmm, kalau tidak salah aku pernah baca cerita (entah valid atau tidak) Stephen King pernah membuang naskahnya usai ditolak penerbit. Lalu istrinya menemukan naskah itu dan tertarik membacanya. SK tidak sengaja melihat istrinya dan bertanya bagaimana pendapatnya terhadap isi tulisannya. Istrinya menjawab, kisahnya bagus tapi beberapa bagian perlu diperbaiki agar menjadi sempurna. Mendengar jawaban itu, SK mengumpulkan kembali naskah itu dan memperbaikinya. Hasilnya? Dia menjadi penulis produktif dan terkenal seperti yang sekarang kita kenal.
Eka Kurniawan juga memiliki cerita unik. Sebelum Cantik itu Luka diterjemahkan ke dalam bahasa asing, ia bercerita sempat beberapa kali menolak tawaran itu. Menurutnya, karya itu belum cukup baik, ia mengalami perasaan "insecure", padahal orang lain menganggap tulisannya sangat bagus dan layak memperebutkan nobel sastra.
Ya, di sini aku tidak sedang memotivasi siapapun. Yang kumaksudkan ialah beberapa penulis yang kita kenal ternyata mereka pernah mengalami penyakit 'insecure' terhadap tulisannya. Baik itu karena muncul dari dalam dirinya sendiri atau melalui orang lain. Satu hal yang perlu kucontoh dari mereka ialah 'tidak menyerah'. Mereka gigih dalam berbagai situasi. Merasa kekurangan tapi tidak sampai menyerah. Dee dalam sebuah seminar kepenulisan berkata: naskah yang buruk masih bisa diperbaiki jadi baik, naskah yang tidak ada atau masih dalam bentuk gagasan dalam kepala tidak bisa diapa-apakan.
Sekian renungan malam ini.

Nitip sendal ah. Siapa tau nanti dapet hadiah duku. Hahaha
BalasHapusSalam bang
Waduh, ada Mas Ozi. Terima kasih sudah berkenan ke sini.
HapusGa ada tombol like yak. Ingin like aja tapi ga ingin komen :D
BalasHapus